Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Karpet Merah untuk Digital Diaspora

Karpet Merah untuk Digital Diaspora Kredit Foto: Unsplash/Priscilla
Warta Ekonomi, Jakarta -

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menemui lebih dari 800 diaspora Indonesia di Auditorium Palace of Fine Arts, San Fransisco, pertengahan Februari 2016 lalu. Salah satu diaspora bernama Maya Eko Rini menanyakan ihwal rencana pemerintah membangun startup ke depan dan berbagai kemudahan apa saja yang sekiranya diberikan pemerintah ketika para techpreneur ingin merintis bisnis.

Sambil melemparkan pertanyaan, nampak kerutan di kening software engineer di salah satu perusahaan teknologi AS tersebut, seolah ada beribu pertanyaan dan keraguan akankah ia sama suksesnya jika pulang ke Tanah Air nanti?

"Maya kalau mau pulang, pulang saja. Kalau mau jadi entrepreneur, pulang saja. Nanti perkara di sana pontang-panting itu nanti, yang jelas dengan semua pengalaman yang Maya punyai dari sini akan menjadi nilai tambah yang besar bagi negara kita," kata Jokowi yang sontak disambut dengan tepuk tangan ratusan diaspora lain yang menghadiri acara itu.

Baca Juga: Startup Harus Tahu! Hal yang Perlu Dicermati Sebelum Lakukan Scaling

Jokowi seolah menepis keraguan sekaligus mengajak para diaspora untuk pulang membangun negeri. Untuk alasan itu pula Presiden secara khusus menyambangi Sillicon Valley untuk menjelaskan program Indonesia: Digital Energy of Asia ke beberapa perusahaan teknologi ternama di sana. Pasalnya pemerintah sadar, saat menyusun peta jalan digital (roadmap e-commerce) beberapa tahun lalu, talenta digital menjadi salah satu prasyarat utama. Dari 99 ribu orang Indonesia di AS, 4.000 (4%) tinggal di Bay Area (transferwise). 

Bank Dunia dan McKinsey dalam risetnya menyatakan, selama 2015-2030, Indonesia membutuhkan sekitar 600 ribu orang setiap tahun agar Indonesia bisa menjadi negara dengan ekonomi keempat terbesar dunia pada 2030. Untuk memenuhi kebutuhan itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika sendiri sudah menggunakan pendekatan multistakeholder dalam membangun ekosistem digital.

Misalnya, dengan Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi, Program Nasional 1.000 Startup, Yayasan Next Indonesia Unicorn (Nexticorn), Go Online Program, dan Digital Talent Scholarship. 

Dalam Digital Talent Scholarship 2019 misalnya, Menteri Kominfo bersama AWS Educate, Microsoft Indonesia, Google Indonesia, dan Cisco menyiapkan 25.000 talenta digital di bidang artifical intelligence, big data, cloud computing, cyber security, internet of things, dan machine learning. Lalu, kenapa harus jauh-jauh ke Amerika menjemput para diaspora? Tidak cukupkah dengan merekrut talenta lokal saja?

Salah satu anggota Yayasan Nexticorn (penjembatan antara startup lokal dengan pendanaan global), Donald Wirahardja menyatakan, para pemangku kepentingan mengerti dan mengimbau Presiden agar Indonesia menyiapkan talenta digital dengan keterampilan yang tinggi. Persoalan yang dihadapi saat ini pengetahuan yang dimiliki talenta digital Indonesia masih dangkal. Berbeda dengan talenta digital Banglore, India misalnya yang maju pesat serta mampu menghidupkan industri teknologi di Silicon Valley.

"Setelah lulus, mereka balik ke India dan membangun Banglore sehingga knowledge mereka cukup dalam, persoalannya bukan hanya karena mereka punya banyak programmer atau developer, tapi juga orang yang punya pengalaman membangun sistem-sistemnya Amerika," kata dia kepada redaksi Warta Ekonomi belum lama ini.

Hal senada dikemukakan e-commerce IQ dalam surveinya terhadap sejumlah eksekutif di Colgate, Grab, Facebook, Blibli, DHL, Abbott, dan lainnya, bahwa 80% eksekutif menilai talenta digital Asean termasuk Indonesia kekurangan keterampilan dasar, seperti pemecahan masalah, pemikiran strategis, dan kemauan untuk belajar.

Hal ini cukup lumrah lantaran e-commerce atau startup di Asia Tenggara, beberapa kini sudah menjadi unicorn, tergolong masih muda. Konsep digital baru muncul enam atau tujuh tahun lalu saat Lazada dilahirkan dan Grab atau Go-Jek mulai booming. Mengingat digital merupakan dunia yang baru, masih perlu waktu untuk membuat seorang individu menjadi seorang ahli di pasar lokal dan hal tersebut mempersempit jumlah talenta berpengalaman di lapangan.

Baca Juga: Kekurangan Talenta Digital, Kemenkomninfo Gandeng Microsoft Hingga Google

Hal ini pula yang membuat perusahaan cenderung mempekerjakan orang asing untuk mengisi peran senior, tetapi biasanya dalam kontrak pendek dan tidak berniat untuk tinggal selama lebih dari lima tahun di Indonesia misalnya.

"Go-Jek aja (awal-awal) enggak sanggup bikin website atau apps yang dia bisa tahan 100 ribu, satu juta, 10 juta, 100 juta pengguna. Akhirnya Go-Jek beli dua perusahaan di Banglore untuk menyelesaikan ini, atau namanya acquihire. Sepintas orang bilang, wah kok Go-Jek enggak terlalu patriotik sih bawa orang dari sana? Ya karena pada dasarnya kita enggak tahu. Mau gimana? belajar sendiri nanti keburu dikalahin sama Grab atau Uber?" tambah Donald.

Baca Juga: Tegas! Bule Inggris Eks Napi Narkoba Diusir dari Bali

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: