Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Digital Diaspora, Solusi Defisit Talenta Digital Indonesia

Digital Diaspora, Solusi Defisit Talenta Digital Indonesia Kredit Foto: Unsplash/Helena Lopes
Warta Ekonomi, Jakarta -

Untuk mengejar ketertinggalan puluhan tahun di ekonomi digital dengan negara seperti AS, Uni Eropa, dan China, Indonesia memerlukan begitu banyak talenta digital berpengalaman. Dari angka-angka tertentu, Indonesia tertinggal 8-10 tahun dengan AS dan China, meskipun dalam hal potensi cashless payment hanya tertinggal 2-4 tahun lantaran penetrasi e-money sedang berkembang pesat terutama di kota-kota kedua seperti Medan dan Surabaya.

Menurut anggota Yayasan Nexticorn (penjembatan antara startup lokal dengan pendanaan global), Donald Wirahardja, kiblat (ekonomi digital) Indonesia lebih dekat dengan China ketimbang AS dan untuk menjadi negara ekonomi terbesar keempat dunia, Indonesia perlu berkaca pada China beberapa tahun ke belakang.

Inovasi teknologi China, bahkan seperti 5G dan komputer kuantum sudah melampaui AS. Dan perlu diingat, AS membangun digitalnya selama 40-50 tahun, sementara China bisa memangkas waktu itu menjadi 10 tahun saja.  

"Waktu kami mendesain e-commerce (digital) kami mengacu China yang bisa men-shrink (pangkas) problem di AS menjadi 10 tahun. Kita Indonesia akan mengompres lagi dengan memulangkan diaspora supaya tidak harus belajar everything from stretch. Kita perlu orang yang sudah berpengalaman agar tidak perlu menyelesaikan problem yang dulu, melainkan problem baru. China sudah membuktikan mereka bisa catch up," kata Donald.

Baca Juga: Karpet Merah untuk Digital Diaspora

Di luar itu, secara bersamaan Indonesia masih perlu mendatangkan ekspatrit semisal eks-VP Amazon, Google, Microsoft, Yahoo, Facebook, WhatsApp, dan sebagainya, di level chief technology officer (CTO) karena talenta Indonesia yang bisa memikirkan visi ekosistem yang matang ke depan masih sangat langka. Kalau melihat perusahaan di Sillicon Valley, CTO masih dihuni orang sana. 

Baru beberapa tahun terakhir saja muncul nama orang Asia, mulai dari India (Sundar Pichai), China (Jerry Wang), dan sebagainya. Sementara orang Indonesia belum cukup waktu untuk sampai di sana. Mereka dibutuhkan untuk membangun ekosistem, menghubungkan fitur baru dengan fitur lama agar aplikasi tidak crash, dan membaca arah industri ke depan.

Sependapat, AI Research Scientist Nodeflux, Kahlil Muchtar dan VP Product BJTech, Randi Moedahar melihat level CTO Indonesia masih terkendala karena rekruitmen khusus seorang CTO secara paralel harus bisa melihat peluang ke depan dan memimpin skuat untuk merealisasikannya sebagai sebuah produk yang diterima dan sesuai untuk masyarakat Indonesia. Secara visi, eksposur, dan ekosistem, ekspatriat di sana lebih matang. 

VP of Engineering Tokopedia, Herman Widjaja menilai sebenarya talenta lokal dari sisi keterampilan teknis tidak kalah mumpuni untuk menjadi CTO, hanya saja kurang matang dari sisi eksposur dan pengalaman. Talenta lokal mungkin belum pernah merasakan konsep drive thru banking seperti Amazon Black Friday atau Alibaba Single Days. Posisi CTO, menurutnya, adalah peluang jangka pendek yang dalam satu atau dua tahun ke depan bukan lagi sebuah masalah.

"Waktu saya baru datang ke Indonesia juga kaget, diaspora itu pintar-pintar kayak sponge, dalam waktu yang cepat, mereka langsung bisa adaptasi, merekalah calon-calon CTO ke depannya," kata dia.

Menanggulangi Defisit Talenta Digital

Menurut Herman yang kebetulan berada di Silicon Valley saat Presiden Joko Widodo berkunjung, inisiatif pemerintah menjemput diaspora lewat presiden langsung merupakan satu kehormatan tersendiri. Baginya, itu sangat berdampak dan membuat sebagian besar orang Indonesia merasa sangat tergerak untuk akhirnya memutuskan pulang ke Indonesia dan membantu membangun Indonesia. Selanjutnya menjadi tugas pelaku usaha untuk menjadi perpanjangan tangan pemerintah menjemput diaspora yang masih berada di luar sana. 

Tokopedia misalnya, membangun AI Center of Excellence pertama di Indonesia di kampus UI untuk membangun talenta lokal. Herman pun dalam berbagai kesempatan kunjungan ke Seattle, San Fransisco dan Australia selalu melakukan pendekatan aktif pada teman-temannya yang masih di luar sana, mengajak sambil meminta masukan yang sekiranya dibutuhkan diaspora agar mau pulang. 

Upaya proaktif serupa dilakukan Bukalapak melalui program Bukalapak Buka Jalan Pulang, yang menggandeng Perhimpunan Pelajar Indonesia di Uni Eropa, Australia, dan Amerika Serikat untuk mengadakan sharing session di kampus-kampus memberikan gambaran terakit potensi industri digital Indonesia dan Bukalapak khususnya.

Harapannya, pandangan diaspora untuk memulai karier di Indonesia makin terbuka. Masih ada organisasi lain seperti Persatuan Mahasiswa Indonesia Amerika Serikat (Permias) dan Indonesian Professionals Association and Indo Tech Community yang rutin mengadakan seminar dengan para diaspora di AS.

Baca Juga: Berkolaborasi, Kemenkominfo-Microsoft Dorong Pertumbuhan Talenta Digital Indonesia

Pemerintah sendiri tengah mencoba berbagai formula untuk mengiming-imingi digital diaspora agar mau kembali pulang. Rencananya akan diberikan kemudahan perpanjangan visa hingga izin tinggal (kitas) bagi masyarakat Indonesia di luar negeri (diaspora), baik yang masih berstatus sebagai warga negara (WNI) atau sudah bukan warga negara.

Jika mengacu pada data McKinsey bahwa Indonesia perlu sekitar 600 ribu talenta digital, sementara pasokan lokal (program Digital Scholarship 2019 Kemenkominfo) hanya menyediakan 25 ribu, masih ada defisit 575 ribu talenta digital.

Ini akan melengkapi regulasi sebelumnya, Perpres nomor 76 tahun 2017 tentang Fasilitas bagi Masyarakat Indonesia di Luar Negeri berupa pemberian Kartu Masyarakat Indonesia di Luar Negeri (KMILN) kepada masyarakat Indonesia di luar negeri sepanjang memenuhi persyaratan tertentu dan tidak memiliki masalah hukum dengan Pemerintah Indonesia.

Pada dasarnya, berbeda dengan beberapa tahun lalu, saat ini profesi atau bidang yang semula sangat jarang tersedia bagi digital diaspora, sudah banyak disediakan oleh para startup maupun unicorn.

"Dari awal kita menyadari (Indonesia kekurangan talenta digital berpengalaman) dan selalu mengimbau presiden agar memberikan kemudahan bagi mereka, baik yang masih WNI atau sudah WNA, sepanjang mereka memiliki orangtua orang Indonesia, otomatis kitas," kata Donald. 

Berbagai langkah konkrit yang dilakukan pemerintah bersama swasta tersebut muaranya tidak lain untuk memberikan semacam prioritas bagi talenta digital berpengalaman untuk pulang. Dengan taburan karpet merah, welcome home para digital diaspora Indonesia!

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: