Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Fase Hidup Diaspora Berbeda-Beda

Fase Hidup Diaspora Berbeda-Beda Kredit Foto: Bukalapak
Warta Ekonomi, Jakarta -

Digital diaspora satu ini bernama Tiffany Andriana, Business Intelligence Architect di Bukalapak. Lulusan program studi teknik informatika ITB dan business informatics Universiteit Utrecht ini memulai karir di ekosistem digitalnya pada 2013 lalu di Datapas B.V dilanjutkan menjadi business analyst di perusahaan consumer electronic berbasis di Rotterdam, Coolblue.

Ia lebih banyak menggeluti bidang manajemen informasi di perusahaan. Ekosistem di sana sendiri sudah cukup matang terutama di perusahaan teknologi, istilahnya tinggal tweaking atau tuning (penyempurnaan). Inovasi produk yang sifatnya menyelesaikan fundamental problem sudah matang.

Mengenyam pendidikan dan pengalaman kerja selama delapan tahun di Belanda, Tiffany akhirnya memutuskan untuk pulang dan bergabung dengan Bukalapak pada November 2018 lalu. Motivasi awal adalah sudah mulai merasa momennya untuk dekat dengan keluarga.

Kedua, melihat potensi Indonesia yang dinilai masih sangat besar terutama dari sisi pasar yang berkembang sehingga inovasi yang dihasilkan akan memberi dampak yang sangat besar ke masyarakat. 

"Jadi tambah yakin kan. Dari situ mulai lihat-lihat kalau di Indonesia ke mana arahnya (perusahaan) yang potensial. Aku mulai kontak-kontak ke Bukalapak, dari situ deh awal mula jalannya," kata dia kepada Redaksi Warta Ekonomi, baru-baru ini.

Baca Juga: Digital Diaspora, Solusi Defisit Talenta Digital Indonesia

Baginya, selain faktor keluarga, faktor pendorong yang tidak kalah penting saat seorang diaspora memilih untuk pulang adalah sedang berada di fase mana ia dalam hidupnya. Ada yang memang di fase ingin mengeksplor dunia dan sebagainya. Sementara faktor kompensasi (gaji) atau finansial yang menurut persepsi orang jauh lebih tinggi di luar agak semu dan relatif. Mereka kerap melupakan bahwa biaya hidup di sana jauh lebih tinggi.

Sebagai business intelligent architect, ia memiliki peran menjembatani antara teknologi, data, dan kebutuhan bisnis. Ia memastikan Bukalapak memiliki banyak data dan bisa dengan mudah dipakai. Ia bekerja sama dengan tim dari core business intelligence, data engineer, dan sebagainya. Setelah diketahui apa kebutuhan anlisisnya, ia bersama tim mulai meng-assess sumber datanya dari mana saja, memastikan data yang begitu banyaknya di Bukalapak distruktur sedemikian rupa sehingga mudah diakses.

Dalam membersihkan data, pada prinsipnya sebelum bisa melakukan analisis data ada satu proses yang namanya ETL (extract, transform, load), yang menjadi tanggung jawab business intelligence.

Baca Juga: Karpet Merah untuk Digital Diaspora

Diakui Tiffany, pekerjaan yang ia lakukan di Bukalapak tergolong seru lantaran harus bisa mengantisipasi apa yang menjadi kebutuhan user, dalam arti membuat sesuatu yang pertama bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan user dan berusaha menggali lebih dalam kebutuhan mereka. Untuk itu, tidak jarang ia harus meng-interview user untuk berusaha menggali lebih dalam dan memahami konteks lebih dalam atau lebih besarnya.

"Sehingga provide datanya bisa lebih dari A misalnya. Tapi untuk bisa menjawabnya itu kan kita perlu tahu user ini apa sebenarnya yang dibutuhkan karena kadang mereka bilangnya butuh A saja. Yang lebih pentingkan kenapa dia butuh A? Pertanyaan yang coba dia jawab itu apa? Sama dari sumber data yang kita pakai itu mungkin belum bersih, kerjaan paling gedenya di situ," kata Fany. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: