Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ternyata di AS Milenial Mungkin Bukan Target Pasar yang Ideal Bagi Pengiklan

Ternyata di AS Milenial Mungkin Bukan Target Pasar yang Ideal Bagi Pengiklan Kredit Foto: Unsplash/Mimi Thian
Warta Ekonomi, Washington -

Generasi milenial ini, lahir antara 1981 dan 1996, berusia 23-38 hari ini, tidak hanya merupakan kelompok konsumen tunggal terbesar di AS, tetapi mereka juga berpendidikan tinggi, sangat terampil, dan sangat paham teknologi. Karenanya, di dunia yang sedang booming secara digital, sangat masuk akal jika para pengiklan membidik mereka.

Namun, ada sesuatu yang keliru. Saat ini prioritas pengeluaran Millenial untuk memenuhi kebutuhan dalam perekonomian telah bergeser. Pengeluaran mereka terbagi atas perumahan, pinjaman pelajar dan perawatan kesehatan yang menghabiskan sebagian besar dari gaji mereka, jika ada sedikit sisa, mereka gunakan untuk bersenang-senang dan pengeluaran pribadi.

Seperti yang dikutip dari laman independent.co.uk, sebuah survei Charles Schwab yang diterbitkan bulan lalu menemukan bahwa hampir dua pertiga generasi milenial, atau sebanyak 59% yang mengatakan bahwa mereka hidup dari gaji ke gaji dan hanya 38% yang merasa stabil secara finansial.

Baca Juga: 10 Kota Terbaik untuk Milenial

Orang mungkin bertanya-tanya, apa yang mungkin menjadi penyebab perputaran pengeluaran tersebut?

Sebuah laporan yang diterbitkan oleh Deloitte Center for Consumer Insight mensurvei sampel representatif lebih dari 4.000 konsumen asal Amerika Serikat untuk memeriksa keadaan konsumen saat ini dan untuk mempelajari perilaku mereka serta sifat-sifat yang mendasarinya.
Ternyata ada.

Kasey Lobaugh, kepala inovasi Deloitte untuk ritel dan distribusi, mengatakan kepada Adweek bahwa ketika sampai pada narasi di pasar di sekitar konsumen milenial, sangat sedikit yang terfokus pada perilaku yang didorong oleh ekonomi.

“Ada narasi yang didorong oleh semacam perubahan budaya. Salah satu hal yang benar-benar mengejutkan saya adalah bahwa ekonomi konsumen merupakan pendorong perilaku seseorang yang paling unik,” terangnya.

Dengan kata lain, "perilaku seseorang lebih seperti bagaimana penghasilan mereka daripada usia mereka," sambungnya.

Baca Juga: Perang Dagang, AS Tetap Jadi Tujuan Penting Ekspor Indonesia

Menurut laporan itu, generasi Millenial berada dalam situasi keuangan yang jauh lebih buruk daripada generasi sebelumnya. Sejak 1996, kekayaan bersih konsumen di bawah usia 35 telah turun sebanyak 34%.

Namun penurunan itu, belum tentu merupakan kesalahan mereka. Mayoritas para milenial memasuki dunia kerja tepat ketika resesi 2008 melanda, dan banyak yang beranggapan bahwa mereka masih mengejar ketertinggalan.

Kenaikan gaji tahun-tahun sebelumnya jauh lebih besar daripada kenaikan hari ini, sehingga mereka harus bekerja lebih lama dan lebih keras untuk kemajuan yang telah dilakukan kakek-nenek mereka.

Ditambah lagi, pekerjaan dengan bayaran tinggi seringkali berlaku di kota-kota besar di mana harga perumahan juga lebih mahal. Menimbang bahwa hampir sembilan dari sepuluh milenial tinggal di daerah metropolitan, menurut Pew Research, ada lonjakan yang nyata dalam hal pengeluaran sewa. Pada tahun 1997, menurut penelitian Deloitte, orang Amerika yang berusia 25-34 menghabiskan rata-rata 8% dari penghasilan mereka untuk biaya sewa, sementara angka itu meningkat menjadi 10% pada 2017.

Baca Juga: Dear Milenial, Jangan Bekerja untuk Gaji, Tapi...

Deloitte juga melaporkan adanya penurunan angka kepemilikan rumah. Hal tersebut sebagian besar dikarenakan ekonomi yang arahnya belum jelas, yang berakibat pada semakin sulitnya mendapatkan pinjaman. Karena itu, menyewa adalah pilihan terbaik berikutnya.

Faktanya, sebagian besar penghasilan para milenial dihabiskan untuk membayar kembali pinjaman mahasiswa mereka. Mereka mungkin generasi yang paling terdidik dalam sejarah Amerika. Akan tetapi hal itu juga memaksa mereka untuk berhutang, sehingga banyak dari mereka yang harus membayar kembali selama 20 tahun ke depan.

Studi ini menemukan bahwa antara tahun 2004 dan 2017, utang pelajar naik 160%. Akan tetapi, gaji tetap stagnan, tidak memberikan ROI pada pendidikan yang mungkin diharapkan banyak orang.

Dengan dompet para milenial yang tipis, pengiklan harus mempertimbangkan untuk melihat di luar minat audiens mereka dan juga melihat bagaimana konsumen berubah akibat kendala ekonomi yang mereka hadapi.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Kumairoh

Bagikan Artikel: