Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

BI Waspadai Dampak Perang Dagang ke Defisit Transaksi Berjalan

BI Waspadai Dampak Perang Dagang ke Defisit Transaksi Berjalan Kredit Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bank Indonesia (BI) mewaspadai eskalasi ketegangan hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang meningkat makin memengaruhi dinamika perekonomian global, termasuk Indonesia.

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, di samping dampaknya terhadap pertumbuhan, tensi ketegangan hubungan dagang yang makin tinggi memicu ketidakpastian di pasar keuangan global, yang kemudian mendorong aliran modal keluar dari negara berkembang ke negara maju (flight to quality).

"Kita lihat kondisi pasar keuangan global kalau dijelaskan stabilitas kondisi pasar keuangan global dalam waktu sampai sekarang beberapa waktu ke depan diikuti karena meningkatnya eskalasi hubungan dagang antara AS dan China dan sejumlah negara sentimen risk on risk off untuk aliran modal asing masuk. Ini akan pengaruh ke surplus neraca modal, dan defisit transaksi berjalan," ujar Perry di Jakarta, Kamis (20/6/2019).

Baca Juga: Perang Dagang, OJK Akui Pertumbuhan Kredit Bank ikut Memble

Pada kuartal I 2019, defisit neraca transaksi berjalan tercatat sebesar US$7 miliar, atau 2,6% dari produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada kuartal IV-2018 yang mencapai US$9,2 miliar atau 3,6% dari PDB.

Oleh sebab itu, untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan aliran modal asing agar tidak keluar, BI menyatakan terbukanya ruang untuk kebijakan moneter yang akomodatif. Atas dasar ini pula, BI kembali mempertahankan suku bunga acuannya tetap di level 6%.

"BI terus mencermati kondisi pasar keuangan global dan stabilitas eksternal perekonomian Indonesia dalam mempertimbangkan penurunan suku bunga kebijakan sejalan dengan rendahnya inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri," ucapnya.

Baca Juga: Perang Dagang AS-China Jadi Ladang Cuan Buat Emiten Asal Indonesia

Untuk menggenjot perekonomian domestik, BI memutuskan untuk menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah perbankan sebesar 50 basis poin menjadi 6% untuk bank konvensional dan 4,5% untuk bank syariah/unit usaha syariah.

"Dari pantauan sebulan ini, kebijakan moneter yang akomodatif kita realisasikan sekarang. Sudah kami sampaikan dapat berupa penambahan likuiditas melalui strategi operasi moneter yang menambah memastikan kecukupan likuiditas pasar uang dengan perbankan," ujarnya.

Melalui pelonggaran GWM ini, BI yakin perbankan akan lebih leluasa menyalurkan kredit karena akan ada tambahan likuiditas Rp25 triliun. Dengan tumbuhnya kredit, maka diharapkan perekonomian akan makin bergeliat.

Baca Juga: Desak BI Turunkan Suku Bunga, OJK: Agar Pengusaha Lebih Kondusif!

"Seluruh bank akan naik likuiditasnya setengah persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK). (Tambahan likuiditas) Rp25 triliun ini tambahan likuiditas diharapkan kepada bank untuk disalurkan ke kredit dan bisa dorong perekonomian ini akan bergulir terus," jelas dia.

BI mengamini pertumbuhan ekonomi domestik belum tumbuh menggeliat, yang salah satunya disebabkan dampak perang dagang global. Perry memandang pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2019 stagnan dengan pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2019 yang sebesar 5,07 persen (yoy).

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Kumairoh

Bagikan Artikel: