Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Cerita Papa Luhut yang Sayang Sekali dengan Putra-Putrinya

Cerita Papa Luhut yang Sayang Sekali dengan Putra-Putrinya Kredit Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Warta Ekonomi, Jakarta -

Letjen (Purn) Luhut Binsar Panjaitan dikenal sebagai sosok yang tegas dan pemberani. Diusia yang sudah tidak muda lagi, ingatan publik teringat saat Luhut tertangkap kamera ikut marah saat debat antara Capres Jokowi dan Prabowo. Saat itu, tim BPN memprotes keras terhadap panitia KPU karena Jokowi dinilai menyinggung masalah personal Prabowo, yang saat itu menyebut Prabowo mengusai konsensi tanah negara berupa penguasaan HGU di Aceh dan Kalimantan.

Baca Juga: Luhut Pasang Badan untuk Soenarko?

Saat tim BPN protes dengan nada keras, Luhut merasa tak terima. Ia pun tampak ikut marah, sebelum ditenangkan oleh politisi Golkar Rizal Mallaranggeng.

Namun, siapa sangka, dibalik sikap kerasnya, Luhut nyatanya tak bisa menyembunyikan sikap yang begitu sayangnya terhadap anaknya. Hal itu, terungkap dalam curahan hatinya di laman facebooknya. Dan berikut, ungkapan sayang "Ayah" Luhut terhadap putra-putrinya.

Sebagai seorang ayah, ada kalanya keinginan kita bertolak belakang dengan cita-cita anak. Contohnya yang terjadi 20 tahun silam, ketika saya melarang anak laki-laki saya Paulus yang sangat ingin menjadi prajurit TNI seperti bapaknya.

Singkat cerita, kemauan keras Paulus akhirnya menjadikan dia seorang tentara jua.

Bahkan pada tanggal 14 Juni kemarin Mayor Inf. Paulus Pandjaitan telah berhasil menyelesaikan pendidikan Seskoad-nya (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) di US Army Commanding General and Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat. Saya hadir di acara pelantikan tersebut dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai orang tua.

Ada satu momen di sana yang tidak akan pernah terlupakan yaitu ketika anak laki-laki saya itu berkata, “Pa, saya sudah selesaikan Seskoad saya.” Ucapan yang mungkin biasa saja ketika didengar oleh orang lain. Tapi bagi saya kata-kata itu cukup membuat air mata menitik. Ada rasa haru yang bercampur bangga di situ.

Ingatan saya kemudian membawa saya kembali ke tahun 1999 di mana Paulus yang baru lulus SMA, sampai datang mengejar saya yang waktu itu sedang bertugas menjadi Duta Besar RI di Singapura. Dia memohon-mohon supaya diperbolehkan masuk Akademi Militer. Tapi saya berkata tidak.

Saya tahu bahwa saya sangat keras menentang kemauannya sampai dia menangis pada ibunya. Tapi saya tetap bersikukuh supaya Paulus menjadi sarjana saja.

Di balik itu sikap tegas itu sebenarnya saya menyimpan rasa sedih yang mendalam untuk anak saya. “Kau masuk tentara mau diapain kau nanti?” gumam saya dalam hati karena sudah cukup saya mengalami rona-rona kehidupan di sana, bahwa seberapa keraspun dulu bekerja, seberapa hebatnya pun prestasi,  saya tidak pernah mencapai puncak karir di lingkungan TNI. Tidak pernah jadi Kasdam, Pagdam atau Danjen Kopassus.

Sebagai seorang ayah saya tidak mau melihat dia nanti mengalami kesusahan yang pernah saya alami sebagai tentara. Maka kemudian saya berpikir, menjadi pengusaha atau politisi adalah jalan yang lebih baik untuk Paulus.

Akhirnya Paulus mendaftar di UPH (Universitas Pelita Harapan) dan lulus 4 tahun kemudian sebagai sarjana hukum. Menjelang wisuda, Paulus meminta waktu bicara dengan saya. Saya pikir mau apa lagi dia? Minta kawin atau apa? Tiba-tiba dia kembali meminta izin saya untuk diperbolehkan masuk tentara.

Kali itu saya bilang bahwa sudah terlambat baginya untuk masuk Akmil karena bakal tertinggal 4 tahun di belakang teman-teman seangkatannya. “Pokoknya saya masuk tentara, masuk Kopassus, karena itu cita-cita saya,” jawabnya bersikukuh sembari menekankan kalaupun dia tidak mungkin masuk lewat jalur Akmil, Jalur Sepa PK (Sekolah Perwira Prajurit Karier) pun tidak masalah. Jalur yang saya sebenarnya tidak rela untuk dia lalui.

Akhirnya dengan berat hati saya kirim dia ke Kepala Dinas Psikologi Angkatan Darat Pak Mayjen Dr. Heriyono untuk menjalani psikotes. Hasilnya, Paulus dinilai mumpuni baik secara kepribadian maupun intelektual.

Sesuai dengan janji saya pada Paulus, maka saya mengijinkan dia masuk tentara karena lolos psikotes. Berbagai tes kemudian dia jalani termasuk ujian Komando.

Dia kemudian tetap bertekun, lulus, dan semua proses dijalani dengan normal tanpa campur tangan ayahnya. Setelah menjadi prajurit komando diapun memilih untuk tinggal di barak di Cijantung dibandingkan bersama dengan orangtuanya lagi. Padahal tadinya selama kuliah, dia mendapat fasilitas bagus dari kami. Dia kemudian tetap hidup di mes tentara sampai menikah, kemudian mengambil Sekolah Lanjutan Perwira (Selapa), melanjutkan S2 di Australia, dan akhirnya lulus tes Seskoad dan dikirim ke Amerika. Setahu saya Paulus hingga hari ini adalah satu-satunya perwira jalur Sepa PK yang berhasil lolos seleksi lalu dikirim ke Amerika.

Ke depannya, saya memberikan kebebasan kepada Paulus untuk berkarir. Apapun pilihan Paulus dan ketiga anak saya yang lain, yang penting mereka menjadi orang baik.

Karena pencapaian tertinggi seorang ayah adalah keberhasilan kita mendorong anak untuk menyelesaikan studi dengan bagus, bekerja dengan hati, dan tidak memanfaatkan keberadaan ayahnya. Biarlah setiap anak kita menjadi dirinya sendiri. Dan sampai sekarang, saya bangga dengan anak-anak saya, ada Uli dengan suaminya Maruli yang mengabdi sebagai prajurit TNI, David yang berbisnis didampingi istrinya Intan, juga Kerri yang sibuk dengan kegiatan sosialnya.

Selain untuk dibaca oleh setiap orang tua, tulisan ini juga saya tujukan khususnya kepada perwira-perwira TNI untuk mulai melihat talenta tentara-tentara muda dan mengembangkannya.

Karena selain Paulus, ada juga Mayor Inf. Delly Yudha Nurcahyo  dan Mayor Inf. Alzaki yang ketiganya bersamaan lulus Seskoad di Amerika dengan hasil yang baik dan memuaskan. Padahal kita sama tahu bahwa Seskoad adalah tahapan pendidikan di lingkungan TNI-AD yang sangat sulit, terseleksi, dan sangat menentukan perkembangan karir selanjutnya. Bahkan Alzaki yang sempat bekerja dengan saya di Kemenko Polhukam dan Maritim adalah satu-satunya perwira dalam sejarah TNI-AD  yang memperoleh penghargaan The Simon Center Interagency Writing Award.

Jika talenta muda seperti mereka dikembangkan maka ke depannya mereka bisa membawa TNI menjadi lebih profesional dan betul-betul bisa membuat TNI menjadi penjaga NKRI, Pancasila, UUD NKRI Tahun 1945, serta berpegang teguh pada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.

Sedangkan untuk setiap anak yang membaca tulisan ini, saya ingatkan agar berhati-hatilah dalam bersikap kepada orang tuamu. Karena apa yang kau lakukan pada mereka, bisa jadi akan dibalas oleh anakmu.

Seperti saya dulu yang nekad masuk Akabri padahal tidak diperbolehkan ayah saya yang ingin saya masuk  ITB, sekarang “dibalas” oleh anak saya yang bersikeras mau jadi tentara, padahal ayahnya menginginkan dia jadi pengusaha atau politisi.

Memang agak lain bentuknya, tapi hal ini terulang seperti de javu.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ferry Hidayat
Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: