Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Indef Sebut Akar Masalah Mahalnya Harga Tiket Pesawat Bukan Turunkan Avtur, tapi...

Indef Sebut Akar Masalah Mahalnya Harga Tiket Pesawat Bukan Turunkan Avtur, tapi... Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai solusi menurunkan harga avtur sebagai cara instan menurunkan tiket pesawat hanya solusi jangka pendek.

Baca Juga: Yaaah, Kebijakan Tiket Pesawat Murah Tak Bisa untuk Jangka Panjang

"Kebijakan jangka pendek. Jika akar masalahnya tidak diselesaikan, seperti masalah inefisiensi dan kartel tiket pesawat, maskapai akan memiliki kebebasan untuk menaikkan tarif di atas tarif batas atas," ujar Huda di Jakarta, Minggu.

Harga avtur di Indonesia, lanjutnya, tergolong paling rendah jika dibandingkan dengan harga bahan bakar di sejumlah negara, seperti Singapura dan Malaysia.

Ia menengarai sejak lama perusahaan maskapai sudah mewacanakan penurunan harga avtur. Jika harga avtur turun, tambahnya, akan berdampak secara langsung terhadap pendapatan Pertamina.

"Mereka (maskapai) selalu 'mengkambinghitamkan' harga avtur. Ini akal-akalan mereka untuk menekan penyediaan harga avtur," ujarnya melalui keterangan tertulis.

Huda memperkirakan tingginya harga tiket pesawat lebih dikarenakan efisiensi manajemen maskapai yang angkanya sekitar 60 persen.

Sementara avtur hanya 40 persen dari seluruh biaya komponen maskapai. Dengan demikian harga avtur bukan satu-satunya pemicu mahalnya harga tiket pesawat.

Sebelumnya Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyatakan, salah satu komponen yang berkontribusi cukup besar dalam pembentukan harga tiket pesawat adalah avtur. Menurut dia, sumbangan harga avtur dalam harga tiket pesawat mencapai 30 persen.

Dari data yang disampaikan, lanjutnya, tarif avtur Pertamina di Soekarno-Hata maupun di beberapa bandara lain, itu diklaim jauh lebih murah dibandingkan dengan di luar negeri seperti Singapura, Hong Kong, Manila, Kuala Lumpur.

"Namun, kita tetap minta coba dikaji untuk diturunkan, sanggup berapa persen," ujar Susiwijono, Kamis (20/6) lalu.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: