Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

AS vs China: Habis Perang Dagang, Terbitlah Perang Mata Uang

AS vs China: Habis Perang Dagang, Terbitlah Perang Mata Uang Kredit Foto: Reuters/Kevin Lamarque
Warta Ekonomi, Jakarta -

Washington dapat memicu perang mata uang dalam "dua hingga tiga tahun" begitu ia beralih dari perang dagang dengan China. Demikian dikatakan Christian Gattiker, kepala penelitian dari Julius Baer Group.

Dia mengatakan kepada CNBC bahwa Federal Reserve AS menekan Gedung Putih dengan kebijakan yang dapat membentuk masa depan dolar.

"(The Fed) bergerak 180 derajat dari menjadi pilot otomatis, mode pengetatan ke pemotongan suku bunga dan pelonggaran kebijakan moneter, jadi saya pikir terdapat suatu tekanan tertentu," ujar Gattiker, sebagaimana dilansir rt.com.

Baca Juga: Trump dan Xi Jinping Sepakat Kendurkan Ketegangan Perang Dagang

Ahli strategi ini menambahkan bahwa lingkungan geopolitik saat ini menciptakan tujuan baru untuk The Fed, termasuk pemeliharaan “lingkungan ekonomi yang teratur”.

"Dengan mandat baru,  The Fed  berhak untuk menyerah pada tekanan ini, bahkan dalam skema yang lebih besar dengan perang dagang. Jadi, saya pikir dolar AS yang lebih lemah dijamin, dari perspektif AS," katanya.

"Kami mungkin benar-benar beralih dari situasi perang dagang ke perang mata uang dalam dua hingga tiga tahun ke depan," lanjutnya.

Di antara penyebab lainnya, ketika suatu negara dengan sengaja mendepresiasi nilai mata uang domestiknya untuk menstimulasi ekonominya sendiri.

Baca Juga: Trump-Xi Jinping Bertemu, Perang Dagang Berlalu?

Presiden Donald Trump baru-baru ini menuduh negara-negara lain, khususnya China, memanipulasi mata uang mereka untuk mendapatkan keunggulan kompetitif yang tidak adil.
Bulan lalu Departemen Perdagangan AS mengusulkan aturan baru untuk mengenakan bea anti subsidi pada produk-produk dari negara-negara yang mengecilkan mata uang mereka terhadap dolar untuk mendapatkan keuntungan dalam perdagangan.

Aturan itu dapat menempatkan barang-barang dari Jepang, Korea Selatan, India, Jerman dan Swiss dengan risiko tarif yang lebih tinggi. Negara-negara tersebut, bersama dengan China, terdaftar pada "daftar pemantauan" laporan mata uang Departemen Keuangan. Daftar ini melacak intervensi pasar mata uang, surplus neraca transaksi global yang tinggi, dan surplus perdagangan bilateral yang tinggi.

Dalam laporannya baru-baru ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingatkan bahwa peningkatan ketegangan perdagangan bisa "berubah menjadi perang mata uang, membuat utang dalam mata uang dolar lebih sulit untuk dilayani."

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Kumairoh

Bagikan Artikel: