Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Gawat, Ekonomi Australia Terus Memburuk

Gawat, Ekonomi Australia  Terus Memburuk Kredit Foto: AFP/Torsten Blackwood
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perjalanan ekonomi Australia yang selama ini kinclong, mulai menurun. Daya beli konsumen terus melemah. Padahal Australia sempat dijuluki "ekonomi Goldilocks" karena bisa menghindari jebakan krisis keuangan global.

Australia telah mengalami 27 tahun ekspansi tanpa gangguan yang belum pernah terjadi sebelumnya di negara maju. Tetapi, prospeknya tampak semakin buram, dan pertumbuhan Australia yang goyah bisa menjadi peringatan untuk ekonomi dunia. Demikian dilaporkan laman Times of India.

Ekonomi Australia tumbuh hanya 0,4% dalam tiga bulan pertama tahun ini, setelah ekspansi mendekati nol pada paruh kedua 2018. Kalau menghapus keuntungan dari pertumbuhan populasi, maka negara ini secara teknis mengalami resesi.

Kepala ekonom National Australia Bank, Alan Oster mengatakan kepada AFP, "Masalah besarnya adalah konsumen."

Seperti kebanyakan negara maju, tingkat pengangguran Australia tidak terlalu buruk, tetapi seperti di tempat lain, ada campuran masalah yang diakibatkan oleh utang pribadi yang tinggi dan upah yang stagnan.

Baca Juga: Pasar Hunian di Australia Bergairah, Penjualan Crown Group Tumbuh 60% Setiap Bulan

Menanggapi hal tersebut, orang-orang Australia memilih untuk lebih berhemat. Mereka membelanjakan lebih sedikit untuk makan di luar, hanya memberikan sedikit perhatian pada program-program diskon, dan yang terpenting, lebih sedikit menghabiskan uang untuk sewa dan akomodasi.

Harga rumah di Sydney kini telah turun hampir 15% dari puncaknya dua tahun lalu. Penurunan ini telah mengekspos kelemahan Australia dalam hal ekonomi. Untungnya, China rajin membeli komoditas Australia, yang agak menolong situasi ini.

Ekonomi sekarang tidak seperti Goldilocks dan lebih seperti kaisar tanpa pakaian. "Itu adalah pelajaran besar bagi seluruh dunia karena hanya mengambil keuntungan sedikit setelah krisis keuangan," ucap Gabriele Gratton dari Universitas New South Wales.

"Ekonomi Australia tidak cukup terdiversifikasi dan membuatnya ada pada situasi di mana rumah tangga Australia sangat banyak berutang," kata Gratton kepada AFP.

Pertumbuhan China juga berkontribusi pada kenaikan tajam harga perumahan karena penduduk lokal dan asing masuk ke pasar, terutama di kota-kota besar seperti Sydney dan Melbourne. Tetapi ekonomi China telah kehilangan momentum dalam beberapa tahun terakhir, mengurangi permintaan akan komoditas dan properti.

"Jika harga tidak runtuh, maka tidak ada yang terjadi. Tetapi jika harga turun, itu akan menyebabkan jenis masalah yang kita lihat di Irlandia atau di Spanyol," kata Gratton.

Bank Sentral, yang lebih mungkin untuk menaikkan suku bunga, telah berbalik arah dan memotong, dengan lebih banyak pemotongan lebih dari yang diharapkan pasar.

Baca Juga: Setelah 9 Tahun Runding, Indonesia-Australia Resmi Teken IA-CEPA

Dengan tingkat suku bunga yang sudah sangat rendah, pengeluaran stimulus bisa menjadi masalah. Padahal bank sentral maupun pemerintah memiliki ruang terbatas untuk bermanuver.

"Masalahnya adalah Anda tidak memiliki instrumen kebijakan yang dapat kita tarik sekarang," ujar Oster.

Meskipun ada pesimisme, sebagian besar ekonom tidak percaya Australia akan masuk ke dalam resesi. Dolar Australia telah melemah, meningkatkan ekspor, pemerintah negara bagian dan federal telah memberikan layanan publik seperti perawatan kesehatan dan infrastruktur, juga membuat pertumbuhan penduduk tetap kuat.

Perdana Menteri Scott Morrison telah berjanji untuk memotong pajak dan birokrasi. Tetapi perkiraan selama tahun lalu telah berulang kali dinilai terlalu optimis.

Gubernur Bank Sentral, Philip Lowe telah mengambil langkah yang tidak biasa dengan meminta pemerintah membelanjakan lebih banyak.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: