Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Harga Cabai Meroket, Ini Sebabnya!

Harga Cabai Meroket, Ini Sebabnya! Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Harga cabai merah di pasar tradisional per 11 Juli 2019 kian meroket,   hingga menyentuh angka Rp56.380 per kilogram (kg) rata-rata secara nasional. Kenaikan harga cabai lebih signifikan bahkan terjadi di Jakarta,  yang pada 11 Juli 2019 sudah menyentuh angka Rp70.850 per kilogram.

 

Tidak adanya pengaturan produksi penyuluhan untuk penciptaan bibit unggul  terkait penanaman cabai diindikasikan menjadi penyebab utamanya. Persoalan berulang ini gagal diantisipasi Pemerintah.

 

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Rusli Abdullah, mengatakan secara umum, harga cabai yang naik hingga hampir 100% di beberapa daerah disebabkan kekeringan yang ekstrem. Hal ini pun mengakibatkan produksi dan suplai cabai menjadi terbatas.

 

“Itu karena supply-nya yang terbatas karena produksinya yang belum optimal,” katanya kepada wartawan, beberapa waktu lalu. 

 

Baca Juga: Kendalikan Harga, Toko Tani Indonesia Gelar Pasar Cabai Murah

 

Ia mengatakan, Pemerintah kurang optimal dalam mendorong penciptaan varietas unggulan yang tahan terhadap perubahan iklim. Padahal, varietas itu dapat ditemukan dengan   misalnya dengan berinovasi pada cara tanam. Menurutnya, permasalahan ini tidak hanya terjadi pada cabai, tetapi juga tanaman-tanaman lain. 

 

“Dia lebih kepada bagaimana memproduksi, tapi bagaimana adaptif terhadap perubahan iklim itu kurang optimal di situ,” ucapnya lagi.

 

Sementara  dari sisi permintaan, Rusli mengatakan, pemerintah harus mulai perlu mendorong supaya masyarakat tidak bergantung lagi pada cabai segar. Hal ini bisa dilakukan dengan membiasakan masyarakat mengonsumsi cabai bubuk atau sambal olahan. Jadi, produksi cabai yang melimpah pada musim panen dapat terserap menjadi produk yang tahan lama. 

 

“Jadi pemerintah harus  mendorong masyarakat agar mereka lebih bisa adaptif terhadap cabe olahan,” ucapnya.

 

Baca Juga: Cabai Merah dan Emas Penyumbang Terbesar Inflasi Juni 2019

 

Senada, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Kudhori melihat, naiknya harga komoditas cabai merah yang terjadi saat ini salah satunya disebabkan oleh minimnya stok cabai yang tidak seimbang dengan permintaan. 

 

Kurangnya ketersediaan cabai merah pun disinyalir disebabkan oleh jumlah produksi cabai dari petani yang kurang maksimal. Salah satunya karena mengalami kekeringan lahan dan bahkan gagal panen karena kemarau.

 

“Ya ini siklus tahunan. Dan tahun ini kan kalau dibandingkan tahun sebelumnya kekeringan lebih panjang jadi di daerah-daerah yang selama ini menjadi basis produksi cabai itu ada gangguan,” jelas Kudhori.

 

Baca Juga: Harga Cabai dan Bawang Merangkak Naik

 

Kudhori mengatakan, fenomena gagal panen atau rusaknya tanaman cabai saat terjadi kemarau panjang atau kekeringan yang berlebih merupakan hal wajar. Fenomena sama pun, Kudhori sebut juga terjadi pada tanaman hortikultura lainnya. 

 

“Ini seperti tanaman hortikultura yang lain lah kalau ada gangguan di level budidaya dalam bentuk perubahan iklim ya pasti dampaknya kerasa di panennya. Ketika terjadi anomali atau penyimpangan iklim cuaca itu bukan hanya soal air. Biasanya itu juga berbarengan dengan hama dan penyakit ya,” sambungnya. 

 

Kudhori pun menyimpulkan bahwa para petani seharunya bisa mengantisipasi datangnya musim kemarau, lantaran Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) telah rutin mengumumkan perkiraan iklim per tiga bulan sekali. 

 

Baca Juga: Jelang Lebaran Haji Harga Telur dan Cabe Anjlok

 

Sementara Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan, minimnya produksi cabai juga disebabkan oleh ketakutan para petani untuk menanam cabai di musim kemarau yang berkepanjangan. Galuh menyebutkan, banyak petani tidak berani mulai menanam cabai karena takut mengalami gagal panen. 

 

“Jadi nggak berani aja mereka nanem karena kerugiannya akan lebih besar nantinya. Karena mereka lihatnya juga dari keuntungan petani sendiri apakah kalau saya menanam, saya akan panen ya nanti,” ujar Galuh. 

 

Galuh berpendapat, pemerintah seharunsya bisa belajar dari kesalahan masa lalu karena siklus ini terjadi tiap tahun. Pola kemarau yang membuat produksi sejumlah komoditas berkurang, menurut Galuh, harusnya bisa diantisipasi pemerintah. 

 

“Ya itu berarti pemerintah harus meyakinkan petani untuk dapat menanam itu di luar musim kemarau dimanfaatkan semaksimal mungkin menanam di luar musim kemarau, sebelum musim kemarau,” paparnya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: