Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bahaya! Demokrasi Indonesia Terancam Krisis: Masyarakat Apatis hingga Elit-elit Korup

Bahaya! Demokrasi Indonesia Terancam Krisis: Masyarakat Apatis hingga Elit-elit Korup Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) merilis sebuah riset dalam diskusi publik bertema Menyelamatkan Demokrasi di Indonesia. Riset itu menyoroti ihwal demokrasi di Tanah Air yang belum terkonsolidasi dengan baik.

Fajar Nursahid, Direktur Eksekutif LP3ES,  berkata, "Indonesia masih berada pada transisi jalan di tempat yang berlarut-larut, bahkan di beberapa tempat mengalami kemunduran, yang membuat kita masih jauh dari harapan demokrasi terkonsolidasi," kata dia melalui siaran pers, Jumat (2/8/2019).

Dia pun membeberkan, masalah demokrasi Indonesia yang paling krusial, antara lain absennya masyarakat sipil yang kritis pada kekuasaan, buruknya kaderisasi partai politik, hilangnya oposisi, pemilu biaya tinggi karena masifnya politik uang dalam pemilu, juga berita palsu (hoaks).

Baca Juga: Jokowi-Prabowo Berpelukan, Amien Rais: Jangan Sampai Jadi Demokrasi Bohong-bohongan

Selain itu, demokrasi Indonesia juga masih dihantui oleh rendahnya keberadaban politik warga, masalah pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang belum tuntas hingga kini, kebebasan media, kebebasan berkumpul dan berserikat, serta intoleransi terhadap kelompok minoritas.

"Kita mengalami situasi krisis suara kritis pada kekuasaan karena hampir semua elemen masyarakat sipil, mulai LSM, kampus, media, dan mahasiswa merapat pada kekuasaan atau memilih diam demi menghindari 'stigma' berpihak pada kelompok intoleran yang anti-pancasila dan anti-demokrasi," bebernya.

Akibatnya, kata dia, setiap suara anti-pemerintah dikelompokkan ke kubu anti-pemerintah. Padahal absennya suara kritis ialah kehilangan besar untuk demokrasi yang membutuhkan kekuatan yang sehat untuk mengontol kekuasaan.

Fajar pun memberikan catatan khusus untuk kampus. Menurutnya, baru kali ini sejak era reformasi, kampus saat ini malah berlomba-lomba merapat pada kekuasaan.

Pemberian gelar doctor honoris causa pada elit politik pun dinilainya tidak didasarkan pada kontribusi nyatanya kepada masyarakat, namun karena pertimbangan politik.

"Persoalan demokrasi terbesar kita saat ini ada pada lemahnya partai politik. Bukti persoalan partai politik bermula dari rekrutmen kader sebagian besar tidak serius, bahkan asal-asalan. Tokoh masyarakat, yang berkualitas dosen, peneliti semakin sedikit terlibat di eksekutif maupun legislatif," jelasnya.

Baca Juga: DKI Jakarta Raih Indeks Demokrasi Tertinggi

Fajar menjelaskan bahwa demokrasi terkonsolidasi memiliki ciri-ciri, antara lain demokrasi bisa berjalan dan berprosen dalam masa waktu yang lama, ada penegakan hukum berjalan baik, pengadilan yang independen, pemilu yang adil dan kompetitif, civil society yang kuat, serta terpenuhinya hak-hak siplil, ekonomi dan budaya warga negara.

"Perlu partisipasi semua pihak baik intelektual, aktivis, jurnalis dan partai politik untuk menyadari situasi kemandegan, bahkan kemunduran demokrasi di Indonesia untuk bersama-sama berjuang menyelamatkan demokrasi di Indonesia," tutupnya.

Baca Juga: Kader Gerindra Gantikan AWK Sebagai Anggota DPD RI, De Gadjah: Efektif Kawal Kebijakan dan Pembangunan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: