Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kebijakan RED II Uni Eropa Jadi Perhatian Pemerintah Terhadap Industri Sawit

Kebijakan RED II Uni Eropa Jadi Perhatian Pemerintah Terhadap Industri Sawit Kredit Foto: AALI
Warta Ekonomi, Bogor -

Pemberlakuan kebijakan RED (renewable energy directive) II oleh Uni Eropa menjadi perhatian serius pemerintah dan para pelaku industri sawit. Meskipun saat ini pelarangan pemakaian sawit baru sebatas pada bahan baku biofuel, bukan tidak mungkin ke depan Uni Eropa juga memberlakukan larangan sawit sebagai bahan baku pangan dan oleokimia.

Demikian dikemukakan Ketua Bidang Komunikasi Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) Tofan Mahdi, kepada wartawan usai Talk Show Millenial Bareng Sawit di Kebun Raya Bogor, Sabtu (3/8/2019). Acara bincang sawit tersebut diselenggarakan oleh Warta Ekonomi bekerja sama dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS).

“Jika tidak segera ada kebijakan yang luar biasa, industri sawit nasional dalam bahaya,” kata Tofan Mahdi.

Industri sawit nasional saat ini dalam tekanan yang sangat berat. Selain tertekan kebijakan Uni Eropa yang melarang pemakaian sawit sebagai bahan baku biofuel, harga minyak sawit di pasar dunia masih sangat rendah. Situasi ini membahayakan keberlanjutan industri strategis Indonesia tersebut.

Baca Juga: Usai Uji Coba, Gapki Minta Pemerintah Segera Implementasi B30

“Ya sangat mungkin seperti itu kalau kita melihat sekarang banyak produk makanan dari Uni Eropa, yang berstiker palm oil free. Sukses melarang sawit untuk biofuel, mungkin sasaran tembak berikutnya adalah sawit untuk makanan kemudian ke oleokimia,” kata Tofan.

Meski tidak berkait langsung, Tofan percaya bahwa kampanye negatif dan pelarangan sawit untuk biofuel di Uni Eropa sukses memberikan sentimen negatif ke pasar. Akibatnya harga sawit sulit bangkit bahkan terus bertahan pada level terendah dalam kurun lebih dari satu dekade terakhir.

“Pasokan minyak nabati yang berlebih memang mempengaruhi kondisi harga saat ini, namun sentimen melemahnya prospek pasar sawit di benua biru, ikut menyumbang situasi ini “ kata Tofan menjawab pertanyaan wartawan terkait harga CPO yang masih rendah di kisaran US$480 per ton.

Baca Juga: Di Hadapan Milenial, Gapki Pamer Keunggulan Sawit Indonesia

Bagaimana saran dari pelaku industri menyikapi situasi ini? “Pemerintah dan pelaku usaha harus duduk bersama, merapatkan barisan, dan merumuskan strategi jangka pendek, menengah, dan panjang untuk pengembangan industri sawit nasional,” kata Tofan.

Tofan berharap pemerintah memberikan perhatian besar terhadap situasi industri sawit saat ini. Jika tidak ada upaya luar biasa untuk mengangkat harga sawit dalam jangka pendek, neraca perdagangan tahun ini terancam defisit.

“Tahun lalu sumbangan devisa ekspor sawit mencapai US$20,8 miliar, tahun ini dengan melihat pergerakan harga mulai awal tahun hingga Juli, rasanya sumbangan devisa dari ekspor sawit akan turun,” kata mantan Wakil Pemimpin Redaksi Jawa Pos ini.

Sementara itu, dalam Talk Show Milenial Bareng Sawit kemarin, selain Tofan juga tampil sebagai pembicara yaitu Isabella Silalahi (Direktur Marketing PT Mustika Ratu Tbk) dan Brury Wijaya dari PT Garuda Food Putra Putri Jaya Tbk).

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Kumairoh

Bagikan Artikel: