Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Demonstrasi Hong Kong Tanda-tanda Terorisme, Ada AS Bermain?

Demonstrasi Hong Kong Tanda-tanda Terorisme, Ada AS Bermain? Kredit Foto: Reuters/Tyrone Siu
Warta Ekonomi, Hong Kong -

Pemerintah China mengatakan demonstrasi di Hong Kong yang semakin brutal merupakan kejahatan dan menunjukkan tanda-tanda terorisme. Beijing mencurigai Amerika Serikat (AS) memainkan peran dalam memicu ketidakpuasan dari para demonstran anti-pemerintah.

Demo hari Senin kemarin telah melumpuhkan penerbangan setelah ribuan demonstran menduduki Bandara Internasional Hong Kong. Aksi massa pemrotes menyebabkan bandara ditutup, meski pagi ini (13/8/2019) dibuka kembali dan jumlah demonstran yang bertahan hanya sekitar 50 orang.

Juru bicara Kantor Urusan Negara China untuk Hong Kong dan Macau, Yang Guang, menyampaikan kemarahan dan kecaman atas serangan bom bensin demonstran baru-baru terhadap beberapa kantor polisi di seluruh Hong Kong. Dia memuji kinerja polisi, yang beberapa di antaranya terluka dalam serangan itu.

"Dalam beberapa hari terakhir, demonstran radikal Hong Kong telah berulang kali menyerang petugas polisi dengan alat yang sangat berbahaya, yang sudah merupakan kejahatan berat dan mulai menunjukkan tanda-tanda terorisme," kata Yang.

Yang menyebut tindakan brutal yang dilakukan para demonstran adalah pelanggaran hukum dan ketertiban sosial di Hong Kong.

"Ini adalah pelanggaran berat terhadap aturan hukum dan ketertiban sosial di Hong Kong. Kejahatan dengan kekerasan harus ditindak tegas sesuai dengan hukum, tanpa ragu-ragu atau belas kasihan," katanya lagi, dikutip South China Morning Post

Protes besar-besaran di Hong Kong yang telah memasuki minggu ke-10 dipicu oleh rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi China yang mulai diusulkan para anggota parlemen pro-China pada bulan Februari lalu. RUU tersebut, jika disahkan menjadi undang-undang, akan memungkinkan penduduk kota Hong Kong yang jadi tersangka kriminal diekstradisi ke China untuk diadili dan dihukum.

RUU itu dipandang para demonstran sebagai kemunduran dari demokrasi yang sudah tumbuh di Hong Kong, wilayah otonomi khusus yang menjadi bagian dari China. Demo berlarut-larut itu membuat RUU ditangguhkan. Namun, demonstran tak puas dan tetap menyerukan reformasi politik dan menuntut Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengundurkan diri.

Beijing selama ini menyatakan dukungannya terhadap Carrie Lam dan upaya pemerintahannya untuk menstabilkan kota yang jadi salah satu pusat keuangan global itu.

AS dan Inggris telah secara terbuka mendukung demonstrasi, yang semakin membuat China frustrasi. Beijing telah menunjuk tokoh-tokoh Washington seperti Wakil Presiden Mike Pence, Menteri Luar Negeri Michael Pompeo dan Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih John Bolton bertemu para pendukung oposisi Hong Kong. Munculnya bendera AS dalam demonstrasi juga dianggap Beijing sebagai bukti adanya campur tangan asing.

"AS telah membuat berbagai tuduhan terkait Hong Kong yang ceroboh, mendistorsi fakta dan menghasut. Beberapa politisi senior AS dan pejabat diplomatik bertemu dan terlibat dengan para pemberontak anti-China di Hong Kong, mengkritik China secara tidak masuk akal, mendukung kekerasan dan kegiatan ilegal dan merusak kemakmuran dan stabilitas Hong Kong. Fakta-fakta ini terlalu jelas. Saya ingin bertanya kepada AS (dengan) pertanyaan ini lagi: 'Apa niat sebenarnya di balik perilaku Anda yang berkaitan dengan Hong Kong?'," papar juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying kepada wartawan, hari Senin.

Hua Chunying mengatakan AS harus mematuhi dan menghormati hukum yang ada. Sebab, Hong Kong masih bagian dari negeri China.

"Saya perlu menekankan kembali kebenaran yang sederhana. Hong Kong adalah bagian dari China, dan urusannya sepenuhnya urusan dalam negeri China. Kami mendesak AS untuk mematuhi hukum internasional dan norma-norma dasar yang mengatur hubungan internasional, dan agar berhenti mencampuri urusan dalam negeri China," ujarnya.

AS telah menolak sebagian besar tuduhan tersebut. Pada Kamis pekan lalu, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Morgan Ortagus mengecam China dan menyebutnya sebagai rezim yang kejam setelah sebuah surat kabar pro-Beijing menerbitkan foto diplomat AS Julie Eadeh bertemu dengan kaum muda oposisi di Hong Kong. Ortagus juga menuduh pejabat China membocorkan informasi pribadi tentang Eadeh dan keluarganya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: