Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Negara-negara Pasifik Selatan Anggap Australia Tidak Becus Atasi Perubahan Iklim

Negara-negara Pasifik Selatan Anggap Australia Tidak Becus Atasi Perubahan Iklim Kredit Foto: Theguardian.com
Warta Ekonomi, Wellington -

Negara-negara kepulauan Pasifik Selatan dengan tegas meminta Australia berkontribusi dalam membatasi emisi gas rumah kaca global. Hal senada diserukan Perdana Menteri (PM) Selandia Baru, Jacinda Ardern menantang Australia bertindak lebih banyak untuk mengatasi perubahan iklim.

Tuvalu menjadi lokasi pertemuan para pemimpin negara Pasifik pada pekan ini untuk menekan Australia agar tidak tergantung pada listrik tenaga batu bara.

"Australia harus menjawab untuk Pasifik tapi itu masalah bagi mereka. Kami telah katakan bahwa kami tidak yakin kita dapat bertahan dengan pemanasan lebih dari 1,5 derajat Celsius. Itulah di mana kita bersikap," papar Jacinda Ardern di Tuvalu, kemarin.

Dia menambahkan, semua pihak akan melakukan bagiannya masing masing dalam mengatasi perubahan iklim global. Hal ini merupakan bagian dari seruan internasional.

"Seperti negara-negara tetangga kita pulau Pasifik, kita akan melanjutkan seruan internasional, kita akan terus katakan bahwa Selandia Baru akan melakukan bagian kami dan kami telah berharap semua pihak lainnya juga akan melakukannya.”

Pulau-pulau Pasifik yang memiliki ketinggian rendah dari permukaan laut, berada di garis depan dalam perubahan iklim global. Mereka harus menghadapi naiknya permukaan laut dan krisis terkait yang memaksa sebagian warga pindah ke tempat yang lebih tinggi.

PM Australia Scott Morrison tiba di Tuvalu kemarin, bersama para pejabat dari negara lain untuk mengikuti Forum Kepulauan Pasifik (PIF) yang memulai membahas kesepakatan bahwa banyak pemimpin harus memasukkan pembatasan kenaikan suhu global menjadi tak lebih dari 1,5 derajat Celsius di atas level pra-industri dan segera menghentikan tambang batubara.

Meski demikian, Negeri Kanguru itu memiliki sikap berbeda. Hal itu diungkapkan Menteri Pasifik Australia Alex Hawke.

"Australia tidak akan sepakat dengan pernyataan bersama yang menyerukan target iklim yang lebih tegas,” ungkap Menteri Pasifik Australia Alex Hawke.

Dia menambahkan, Australia untuk sekarang ini masih belum punya alternatif selain batu bara.

“Posisi Australia pada batu bara adalah kami tidak memiliki komunika tentang batu bara dan generasi tanpa batu bara atau melakukannya sekarang, ini alasan realistis," ujar Hawke.

Morrison merupakan pendukung kuat industri batu bara Australia. Pada Juni, Australia menyetujui tambang batu bara baru di negara bagian Queensland oleh Adani Enterprises asal India yang diperkirakan memproduksi 8-10 juta ton batu bara termal setiap tahun. Pada 2016, Australia menandatangani Kesepakatan Paris untuk membatasi kenaikan suhu tidak lebih dari 2 derajat Celsius. 

Morrison menaytakan Australia akan memenuhi komitmennya untuk perubahan iklim. Sebelum datang ke Tuvalu, Morrison mengumumkan Australia akan memberikan dana USD339 jutap ada negara-negara pulau Pasifik untuk berbagai proyek energi terbarukan dan membantu mereka menghadapi dampak perubahan iklim.

Meski demikian, para pemimpin negara Pasifik menyatakan memberikan uang agar negara-negara itu mengatasi perubahan iklim itu tidak cukup. Australia saat ini berupaya mencari aliansi untuk mencegah kesepakatan dalam 17 negara anggota forum itu. Saat ditanya tentang isu itu di Tuvalu,

Morrison mengatakan, pihaknya telah membuka berbagai diskusi untuk memecahkan masalah ini.

"Kami menuju percakapan keras, percakapan bagus dan percakapan keluarga," katanya.

Sebelumnya, American Meteorological Society (AMS) merilis laporan bahwa gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer Bumi mencapai rekor tertinggi pada 2018 dan kekuatannya mengakibatkan pemanasan global 43 persen lebih kuat dibandingkan 1990. Laporan berjudul Kondisi Iklim pada 2018 itu juga menyebutkan sejumlah penemuan penting yakni 2018 sebagai tahun terpanas pada tahun keempat berturut-turut. 

Tiga tahun terpanas lainnya adalah 2015, 2016 dan 2017, dengan 2016 sebagai tahun terpanas sejak pencatatan dimulai pada pertengahan 1800-an. Ketinggian permukaan laut juga meningkat ke level tertinggi dalam tujuh tahun berturut-turut. Gletser terus mencair dengan kecepatan yang semakin mengkhawatirkan dalam 30 tahun berurutan.

“Setiap tahun sejak awal Abad 21 telah lebih panas dibandingkan rata-rata 1981-2010. Pada 2018, gas rumah kaca dominan dilepas ke atmosfer Bumi, yakni karbon dioksida, methan, dan nitrous oksida, yang terus meningkat dan mencapai rekor baru tertinggi,” papar laporan tersebut, dilansir CNN.

Laporan itu juga menemukan pengaruh pemanasan oleh gas rumah kaca pada bumi telah meningkat 43 persen sejak 1990. Konsentrasi karbon dioksida global yang mengakibatkan pemanasan global meningkat selama 2018 ke rekor 407,4 bagian per juta.

"Itu tertinggi dalam catatan instrumen modern dan catatan inti es sejak 800.000 tahun silam,” ungkap laporan itu.

Laporan itu disusun oleh Pusat Informasi Lingkungan Badan Laut dan Atmosfer Nasional (NOAA) dan berdasarkan kontribusi dari lebih 475 pakar dari 57 negara. Laporan tahunan itu sering disebut para meteorologis sebagai "fisik tahunan sistem iklim". Salah satu penyusun laporan dan kepala Cabang Pemantau Iklim NOAA Deke Arndt menyatakan, para pakar selama dua dekade terakhir telah melalui tiga tahap fisik tahunan sistem iklim. 

"Ini dimulai dengan memantau suhu dan antisipasi terkait gejala, seperti kenaikan tinggi permukaan laut dan curah hujan tinggi. Lalu itu terkait gejala yang terlihat dan kami mulai mengantisipasi dampak merugikan. Namun dampak itu telah terlihat dan fisik tahunan telah mendokumentasikan beberapa," terang Arndt.

Para peneliti menggunakan puluhan ribu pengukuran dari berbagai data independen untuk menyusun penemuan mereka.

"Ini serangkaian laporan berdasar sains dan pakar lagi yang terus menyuarakan alarm tentang krisis iklim," jelas Profesor Marshall Shepherd dari Universitas Georgia. Sebagai pakar geografi dan sains atmosfer, dia juga mantan presiden American Meteorological Society.

Shepherd menjelaskan, dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global telah terlihat pada berbagai bidang.

"DNA perubahan iklim jelas terlihat sekarang dalam cuaca kita, produktivitas agrikultur, masalah suplai air, kesehatan publik dan bahkan kekhawatiran keamanan nasional. Berbagai temuan dari laporan Kondisi Iklim muncul di atas beberapa blog atau opini di media sosial. Melalui proses sains, mereka menyuarakan alarm tentang krisis iklim di sini dan sekarang," tegas dia.

Laporan itu menambah banyak daftar studi yang memperingatkan dampak pemanasan global. Laporan terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan makanan akan jadi langka dan krisis iklim akan mengubah jenis tanaman yang dapat ditanam para petani.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: