Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Istana Emosional Tangani Papua?

Istana Emosional Tangani Papua? Kredit Foto: Yosi Winosa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Aksi menolak rasialisme di Kabupaten Deiyai, Papua, Rabu (28/8), berujung ricuh dengan korban satu anggota TNI gugur dan dua warga sipil meninggal dunia. Terkait hal itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, pemerintah tak akan emosional menyikapi kejadian-kejadian itu.

Kapolda Papua Irjen Pol Rudolf Rodja mengatakan, kericuhan kemarin juga mengakibatkan lima anggota TNI dan Polri terluka. "Saat ini korban sudah dievakuasi ke RSUD Enarotali, dan situasi aman," kata Kapolda Papua Irjen Pol Rudolf Rodja saat dihubungi Antara, Rabu (28/8) malam. 

Baca Juga: Innalillahi, Amankan Demo di Papua, 1 TNI Tewas, Polisi...

Kapolda Papua mengatakan, insiden yang berakhir kericuhan itu berawal dari aksi yang dilakukan sekitar 100 orang yang melakukan orasi di halaman kantor Kabupaten Deiyai. Di sela aksi itu, tiba-tiba datang sekitar 1.000 orang yang berlari-lari kecil dan sebagian di antaranya menyerang aparat keamanan.

Massa menyerang mobil yang sebelumnya ditumpangi anggota TNI dan merampas senjata api yang berada di dalam mobil tersebut. Selain mengambil 10 senpi jenis SS1 beserta magasin berisi amunisi. Massa juga mengeroyok anggota TNI dengan menggunakan parang dan anak panah.

"Setelah berhasil mengambil senjata api, mereka melakukan penembakan ke aparat keamanan yang sedang melakukan pengamanan unjuk rasa hingga terjadi kontak senjata," tutur Irjen Pol Rodja.

Pada hari yang sama, di depan Istana Negara di Jakarta, puluhan warga Papua berdemonstrasi. Dalam aksi tersebut, mereka sempat mengibarkan bendera Bintang Kejora yang menjadi bendera perlawanan kelompok separatis lokal.

Kepala Staf Presiden Moeldoko menilai pengibaran bendera Bintang Kejora di seberang Istana Merdeka dan bentrokan yang terjadi di Deiyai kemarin adalah upaya memancing tindakan keras dari aparat TNI atau Polri. “Ini memang ada upaya masih pembentukan opini di luar yang dilakukan. Dan konfirmasi kebenarannya masih belum jelas," kata Moeldoko.

Moeldoko menyebutkan, pemerintah tidak ingin emosional menanggapi upaya provokasi yang dilakukan oknum-oknum tak bertanggung jawab. "Kita itu bermain di batas psikologi. Jadi, kita juga harus ukur dengan baik. Kita juga tidak boleh emosional karena, kalau kita ikut larut dalam emosi, maka langkah tindakan menjadi tidak terkontrol," kata Moeldoko.

Baca Juga: Ridwan Kamil ke Istana Temui Jokowi Bahas Pemindahan Ibu Kota, Sebagai Apa?

Aparat diserang

Unjuk rasa di Deiyai kemarin merupakan kelanjutan dari aksi pada Senin (26/8). Pada Senin, massa pengunjuk rasa menuntut bertemu dengan Bupati Deiyai Ateng Edowai tetapi tak berhasil. Tuntutan serupa disampaikan kemarin.

Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo menuturkan, jumlah massa yang awalnya sekitar 150 orang, mendesak pemerintah daerah menyetujui upaya referendum atau jajak pendapat di Papua. Namun, desakan kelompok massa agar pemerintah melakukan referendum itu ditolak.

TNI dan Polri bersama sejumlah pejabat setempat mencoba menegosiasikan tuntutan. Di tengah proses ini, Dedi mengatakan, saat negosiasi tersebut berdatangan ribuan massa lain ke lokasi unjuk rasa. “Saat negosiasi itu berlangsung, ada ribuan massa yang datang dari segala arah, membawa senjata tajam, parang, dan panah menyerang aparat keamanan,” kata Dedi.

Ia mengatakan, tim gabungan Polri dan TNI di wilayah tersebut sudah melakukan antisipasi kerusuhan untuk tak berlanjut. Sementara, hingga kemarin sore, menurut Dedi, belum ada informasi soal meninggalnya warga sipil dalam kericuhan kemarin. “Informasi enam orang dari sipil masih belum dapat dipastikan, masih didalami Polda Papua,” kata Dedi.

Prajurit TNI yang gugur diketahui bernama Serda Rikson. Jenazah yang bersangkutan telah dievakuasi ke Nabire, semalam, melalui jalan darat. "Memang ada anggota kita yang meninggal. Sekarang lagi kita evakuasi ke Nabire. Besok kita upayakan evakuasi ke Jakarta," ungkap Kapendam XVII/Cenderawasih Letkol CPL Eko Daryanto kepada Republika, Rabu.

Eko menjelaskan, sebelum bentrokan terjadi, aparat keamanan, baik itu kepolisian maupun TNI, sudah mengetahui akan ada aksi di depan kantor Kabupaten Deiyai. Polri menyiapkan 100 personel dan TNI menyiapkan dua satuan setingkat pleton (SST). Aksi dimulai pukul 09.00 WIT. Eko menduga respons dari pemerintah daerah tersebut kurang cepat dan memicu massa unjuk rasa bertindak merusak.

Eko mengatakan, awalnya massa menjadikan gedung kantor bupati sebagai sasaran lemparan bebatuan. "Akhirnya anggota kita jadi sasaran anarkistis. Yang parah, korban terkena panah dan parang," kata dia.

Sejauh ini, Eko mengatakan, pihaknya belum mengetahui siapa yang melakukan penyerangan tersebut. Ia hanya mengetahui hal tersebut dilakukan oleh massa aksi. Ia menduga ada kelompok tertentu yang ikut berbaur di tengah massa. "Kalau awalnya aksi memang massa masyarakat murni, kalau dibilang ada di dalamnya kelompok-kelompok itu sudah pastilah. Tidak mungkin masyarakat ini bisa berbuat begitu anarkistis."

Aksi unjuk rasa di Papua dan Papua Barat menolak rasialisme mulai dilakukan sejak Senin (19/8) di Manokwari, Sorong, dan Jayapura. Hari itu, aksi di Manokwari dan Sorong berujung perusakan fasilitas umum dan pembakaran sejumlah bangunan.

Keesokan harinya, aksi dilakukan di Fakfak, Biak Numfor, Timika, dan Merauke. Aksi di Fakfak berujung pembakaran pasar utama setempat dan gedung dewan adat. Dua peserta aksi pengibaran bendera Bintang Kejora juga terluka dikeroyok massa tandingan di Fakfak.

Aksi-aksi tersebut berkaitan dengan insiden pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Video yang beredar terkait aksi itu menunjukkan ada ucapan-ucapan pengusiran dan penyebutan umpatan rasial kepada para mahasiswa.

Dalam aksi-aksi yang digelar di berbagai wilayah, pengusutan kasus ucapan rasial menjadi tuntutan utama. Kendati demikian, berkibar juga bendera Bintang Kejora dan tuntutan referendum di berbagai wilayah, bahkan dalam aksi yang digelar mahasiswa Papua di Istana Negara, Jakarta; Gedung Sate, Bandung; Semarang; dan wilayah lainnya di Pulau Jawa.

Namun, pihak wartawan kesulitan mengonfirmasi secara independen kejadian di Deiyai karena akses telekomunikasi yang masih dihambat di Papua. Selain akses internet yang diblokir total, jaringan telekomunikasi seluler juga sukar digunakan.

Kendati demikian, merujuk laporan jubi.co.id, kericuhan di Waghete bermula saat pengunjuk rasa tengah melakukan waita alias tarian melingkar khas wilayah pegunungan Papua di depan kantor Kabupaten Deiyai.

Saat pengunjuk rasa tengah melakukan waita tersebut, menurut keterangan Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat Deiyei, Agus Mote, kepada jubi.co.id, terdengar suara tembakan. “Penembakan terjadi pukul 13.00 siang. Massa aksi yang tadinya berada di kantor bupati Deiyai telah bubar melarikan diri. Tembakan masih terus terdengar,” kata Mote saat dihubungi jubi.co.id sekitar pukul 14.00 WIT.

Salah satu warga Deiyai, Ones Madai, mengatakan, suara tembakan terus terdengar selama dua jam. Pasukan pengamanan, menurut dia, juga mengejar para pengunjuk rasa yang melarikan diri.

“Kami masih berusaha mendata korban-korban yang terkena tembakan,” kata dia, dilansir jubi.co.id.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: