Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tak Seharusnya Airlangga dan Dedi Mulyadi Bawa-Bawa Alquran untuk Tujuan Politik

Tak Seharusnya Airlangga dan Dedi Mulyadi Bawa-Bawa Alquran untuk Tujuan Politik Kredit Foto: Antara/Didik Suhartono
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kandidat terkuat Calon Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo atau Bamsoet angkat suara soal viralnya video pengambilan sumpah Alquran oleh Ketua DPD Golkar Jabar Dedi Mulyadi yang membacakan ayat suci umat Islam itu tujuan jangka pendek dan duniawi untuk mendukung Airlangga Hartarto.

Baca Juga: Petinggi Golkar se-Jabar Disumpah Dukung Airlangga

Dan berikut tanggapan Bamsoet:

Anomali atau keanehan praktek kepemimpinan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan para pengikutnya semakin menjadi-jadi, ngawur, dan mempermalukan Golkar sebagai partai politik moderen berhaluan nasionalis tengahan. 

Sebagaimana video yang sedang viral, dalam suatu ruangan acara, Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi, mengeja sumpah di hadapan para pengurus DPD kabupaten/kota yang mengulangi sumpah politik tersebut. Tampak seorang tokoh agama Islam mengangkat tinggi Alquran pada posisi di atas kepala para pengucap sumpah. Terlihat dalam video itu, Airlangga berdiri mendengarkan sumpah yang diucapkan para bawahan partainya. Beberapa elite DPP Partai Golkar kubu Airlangga juga terlihat menyaksikan pengucapan sumpah itu, diantaranya Melchias Markus Mekeng, Ketua Korbid Wilayah Timur. 

Sejatinya, dalam setiap agama, sumpah yang diucapkan di bawah Kitab Suci (Alquran, Alkitab, dan lainnya), dengan membawa nama Allah sang pencipta alam semesta, merupakan sesuatu yang sakral, mulia, dan sarat pesan amanah. Lazimnya seremoni pengucapan sumpah di muka Kitab Suci itu dilakukan oleh para pejabat di level jabatannya masing-masing, agar yang bersangkutan mengingat dengan sungguh-sungguh amanah yang diberikan melalui jabatan tersebut. Amanah itu berkorelasi denga harapan-harapan warga negara atau rakyat yang telah menitipkan amanah kepada sang pejabat, agar dapat berlaku adil, jujur, dan bertanggungjawab bagi kemaslahatan umum. Intinya, pejabat yang disumpah tidak boleh berkhianat kepada rakyat atau warga negara yang sudah menitipkan amanah mulia kepadanya.

Apabila dihubungkan dengan situasi riil yang menimpa Partai Golkar hari-hari ini, maka aksi sumpah para pengikut Airlangga itu tampak tidak lazim dan cenderung aneh. Bagaimana bisa di tengah kerusakan organisasi Partai Golkar yang telah ditimbulkan oleh Airlangga, para pengurus harus mengucapkan sumpah dengan membawa nama Allah untuk tetap mendukung Airlangga? Itu artinya, sumpah tersebut merupakan ikrar bersama untuk mendukung berbagai kerusakan organisasi yang telah ditimbulkan Airlangga.

Yang sungguh mengherankan, para pengurus Partai Golkar di Jawa Barat itu juga bersumpah bahwa siapa yang berkhianat atau membuat penghianatan terhadap Airlangga, akan mendapatkan laknat. Bagaimana mungkin, Airlangga yang sudah berkhianat terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar, serta berlaku semena-mena misalnya dengan aksi pendudukan sepihak Kantor DPP Partai Golkar, meminta para pengurus Golkar untuk tidak mengkhianatinya?.

Sumpah tersebut menjadi proporsional dan logis diberikan kepada Airlangga, apabila Airlangga terbukti sebagai pemimpin yang amanah, menjadi sumber keteladanan, dan bijaksana. Ini malah sebaliknya, pemimpin yang telah menimbulkan banyak kerusakan di dalam organisasi, malah disumpah atas nama Allah untuk tetap dipilih. Pada titik ini, jelas terlihat, bahwa Airlangga, para loyalis, dan pengikutnya hanya menjadikan agama sebagai perkakas politik. Padahal, agama itu simbol kejujuran yang harus tercermin dalam setiap jabatan yang diemban oleh pemeluk agama termasuk yang sedang menjabat sebagai ketua umum.

Agama sebagai simbol moral tertinggi dimana aktualusasinya tercermin dalam kehidupan pribadi, penuh tanggung jawab, respinsif terhadap aspirasi, rela menderita demi orang yang di pimpinnya, berbelarasa dan melayani. Sayangnya perilaku mulia sebagai karakter pemimpin itu tidak tercermin pada diri Airlangga saat dia memimpin Partai Golkar semenjak Munaslub 2017. Itu artinya Airlangga, para loyalis dan pengikutnya hanya menjadi agama sebagai alat bagi pemuasan kepentingan kekuasaan politik belaka.

Dari perspektif kebangsaan dalam konfigurasi dan anatomi politik Indonesia, aksi sumpah politik bernuansa agama yang dilakukan oleh para pengurus Golkar di wilayah Provinsi Jawa Barat itu, semakin mengaburkan karakteristik Partai Golkar sebagai partai nasionalis tengahan. Sedangkan dari dimensi psikopolitis, apabila terjadi salah tafsir atas aksi sumpah politik ber-Alquran kepada Airlangga itu, maka Golkar menghadapi situasi bahaya secara ideologis. Anggota, kader, atau pengurus Golkar yang belum matang wawasan dan kurang memiliki kedalaman religiositas, dengan serta-merta menularkan sentimen agama secara tidak proporsional ke dalam praktek berpartai. Kalau kondisi negatif seperti ini terjadi, maka yang bertumbuh adalah embrio intoleransi, yang pada gilirannya bakal mengubur karakter kebangsaan Partai Golkar.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: