Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Transformasi dan Recovery Perusahaan Sakit di Era Disrupsi: Kasus BUMN

Oleh: Irfan Riza, Senior Trainer WE Academy

Transformasi dan Recovery Perusahaan Sakit di Era Disrupsi: Kasus BUMN Kredit Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Beberapa waktu belakangan ini, kita dikejutkan dengan berita di media massa yang menginformasikan ada beberapa badan usaha milik negara (BUMN) berpotensi bangkrut atau mengalami sakit parah sehingga membutuhkan proses terapi strategis dari pihak pemerintah selaku owner BUMN tersebut.

Lazimnya, semua pengelola perusahaan pasti berharap perusahaan yang dikelolanya dapat sehat dan bertumbuh kembang secara normal dan mampu memberikan benefit maksimal bagi owner, direksi-komisaris, dan para karyawannya.

Namun seiring dengan semakin intensnya persaingan global yang semakin unpredictable, dinamis, serta bersifat discontinue, banyak perusahaan yang berada pada kondisi unfit dengan kondisi internal maupun lingkungan persaingan bisnisnya. Kondisi ini akan menciptakan gejala awal sakit perusahaan berupa tren pertumbuhan negatif, kesulitan keuangan, pangsa pasar yang menciut, kehilangan kepercayaan karyawan, pemegang saham dan masyarakat luas, serta terancam bangkrut. Semua ini adalah tanda-tanda perusahaan yang menuju kondisi sakit aktual.

Baca Juga: Surveyor Indonesia Mantapkan Transformasi ke Bisnis Berbasis Digital

Pertanyaan kita adalah, apa yang harus dilakukan jika perusahaan sudah mengalami gejala sakit?Keputusan apa yang harus diambil dan tindakan apa yang perlu dilakukan untuk segera memberikan panasea efektif guna menghilangkan gejala sakit perusahaan tersebut?

Pada tahun 2008 lalu, Bank of Korea menyusuri data perusahaan-perusahaan yang ada di 41 negara untuk mengetahui seberapa daya tahan unit usaha itu menghadapi tantangan zaman. Dari penelusuran bank itu, terdapat 5.586 perusahaan yang berusia lebih 200 tahun. Dari jumlah itu, sebanyak 3.146 perusahaan berlokasi di Jepang, 837 di Jerman, dan 222 di Belanda. Sementara, ada 196 di Prancis.

Data lain menyebut, sekitar 89,4 persen dari perusahaan yang berusia 100 tahun atau lebih, hanya memiliki karyawan kurang dari 300 orang. Perusahaan-perusahaan lawas hingga kini masih beroperasi. Memang, ada beberapa di antaranya melebur ke perusahaan lainnya, namun itu dilakukan sekian ratus tahun setelah berdiri.

Ya, boleh dikatakan ada perusahaan yang bertahan dalam ratusan tahun, tetapi banyak juga yang bertahan dalam bilangan jari tangan yang kita miliki. Ada yang sakit terus mati. Ada yang tumbuh baru dan bertahan.

Seiring dengan zaman yang semakin kompetitif, unpredictable, dan diskontinu, potensi perusahaan-perusahaan untuk mengalami sakit dan gagal memulihkan kesehatannya (corporate turnaround/ recovery) berpotensi akan membesar.

Faktor eksternalitas yang semakin kuat pengaruhnya akan memperbesar intensitas sakit atau akan mempercepat proses kematian perusahaan yang sebelumnya telah sakit akibat sebab lain, misal salah urus manajemen dan variabel internal lainnya. Atau kombinasi interaktif faktor internal dan eksternal juga akan mempercepat pelemahan kondisi perusahaan sehingga cepat mengalami proses ketidaksehatan yang dapat berujung kebangkrutan.

Fenomena perusahaan sakit terjadi di banyak negara, termasuk di negara USA sebagai pusat pertumbuhan bisnis global sebelum bangkitnya dominasi bisnis China. Hampir dua per tiga bisnis berskala kecil dengan volume penjualan per tahun di bawah US$100.000 mengalami sakit secara berkelanjutan dan tidak tersehatkan kembali dan pada akhirnya terpaksa atau dipaksa keluar dari pasar. Bahkan, bisnis yang mengalami kondisi ketidaksehatan dan akhirnya bangkrut bertambah secara fantastis empat kali lipat.

Oleh karena itu, perlu adanya penjelasan yang logis tentang gejala, indikator, sebab sakit, dan strategi perusahaan yang tepat agar pengelola perusahaan dapat melakukan deteksi dini agar dapat bersikap lebih proaktif sejak awal sehingga tak perlu lebih lama menunggu sampai perusahaan mengalami sakit parah.

Dalam kajian strategis, perusahaan yang kompetitif atau sehat adalah perusahaan yang fit secara internal dan eksternal. Fit secara internal akan meningkatkan leverage kapabilitas perusahaan dalam rangka mengeksploitasi pasar (eksternal fit) yang pada ujungnya akan menghasilkan pertumbuhan pasar secara positif dan berkelanjutan. Tumbuh secara positif dan berkelanjutan itulah yang disebut sebagai perusahaan yang sehat. Sebaliknya, bila perusahaan secara internal mengalami unfit sehingga leverage-nya rendah plus ketidakmampuan pengelola bisnisnya menghadapi situasi persaingan eksternal sehingga unfit dengan pasar/kondisi persaingan maka perusahaan tersebut dapat dikatakan sedang mengalami sakit.

Perusahaan yang sakit dalam jangka pendek akan mengalami masalah dalam aspek kinerja operasional yang selanjutnya merembet kepada gagalnya memenuhi target strategis perusahaan yang akan berakibat pada gagalnya menumbuhkan perusahaan. Jika kemudian gagal disehatkan maka proses declining ini akan terus berlanjut yang berpotensi pada memaksa perusahaan keluar dari industri alias mati atau bangkrut.

Peneliti strategi bisnis Cameron (1988) menyatakan perusahaan dikatakan sakit jika perusahaan tersebut mengalami deteriorisasi adaptasi perusahaan dengan lingkungannya yang sampai membawa akibat pada rendahnya kinerja untuk jangka waktu tertentu yang berkelanjutan yang berakibat perusahaan kehilangan sumberdaya utama yang dimilikinya karena gagal melaksanakan transaksi input-output-nya secara sehat.

Sementara ahli lain Bibeault (1999) menyatakan perusahaan dikatakan tidak sehat jika tingkat pengembalian investasinya secara signifikan dan terus-menerus lebih rendah dibanding investasi yang serupa, atau jika mengalami penurunan laba secara terus-menerus. Apapun definisinya, sehat tidaknya perusahaan perlu dicermati secara seksama dan tidak mudah diketahui dalam jangka pendek.

Sebenarnya apa indikator ketidaksehatan perusahaan? Sebelum perusahaan diterapi untuk disehatkan, layaknya perlu dikenali gejala/simptom yang diderita oleh perusahaan untuk mengenali lebih dalam menyangkut hakikat/subtansi penyakit yang diderita dan tingkat intensitasnya. Mengenali gejala ketidaksehatan perusahaan bukanlah hal mudah, terlebih gejala awal. Gejala awal ini biasanya bersifat non-finansial, misal pemecatan eksekutif utama, komplain pelanggan, politicking manajerial yang tinggi, kegagalan produk baru, inkompetensi pimpinan perusahaan dll.

Sementara untuk indikator keuangan dapat berupa berkurangnya omzet, menurunnya laba, tingginya beban tetap, persoalan likuiditas, kredit/piutang macet dll. Di samping itu, gejala ketidaksehatan tidak mudah diidentifikasi karena ada kecenderungan para eksekutif untuk mengabaikannya. Jangan berharap ekseskuitif akan memberikan tanggapan yang positif dan spontan.

Mereka takut dan khawatir bila ada pengakuan ketidaksehatan perusahaan yang dipimpinnya maka dirinya tentu akan dianggap tidak capable dalam mengelola perusahaan di mata pemegang saham. Oleh karena itu, jika kita mendengar berita adanya perusahaan yang sakit secara mendadak, pada hakikatnya masalah tersebut sudah ada cukup lama dan tidak cukup mendapatkan perhatian atau dibiarkan cukup lama oleh para eksekutifnya. Hal ini dapat dilihat pada kasus di beberapa BUMN, seperti Krakatau Steel, Garuda, Perhutani, PTPN dll.

Ada tiga indikator ketidaksehatan yang sering dipakai dalam analisis ketidaksehatan perusahaan. Pertama, indikator dengan menggunakan metode peramalan matematik. Metode ini mengedepankan basis informasi yang kredibel dan jangka panjang untuk menilai performa perusahaan. Namun demikian, karena harus jangka panjang maka metode ini susah digunakan untuk mendeteksi gejala awal ketidaksehatan perusahaan.

Kedua, indikator kecenderungan keuangan. Indikator kecenderungan keuangan yang terjadi pada awal ketidaksehatan adalah penurunan margin di mana peningkatan sales tidak lagi diikuti peningkatan laba. Selanjutnya indikator pangsa pasar, diikuti dengan peningkatan utang secara akseleratif dan pengurangan modal kerja. Jika modal kerja sudah ditutup dengan utang maka di situlah sebenarnya perusahaan telah berada pada kondisi sakit.

Ketiga, indikator perilaku. Indikator ini muncul pada fase awal ketidaksehatan perusahaan. Misal masalah ketidakefektifan informasi internal, pola feodal pimpinan, banyaknya rumor, meningkatnya intensi gerakan serikat pekerja, rendahnya moral kerja karyawan, dll.

Perusahaan-perusahaan yang berada dalam kondisi sakit tersebut memerlukan terapi penyembuhan yang tepat dengan melalui proses diagnosis yang benar. Dari hasil diagnosis, akan diketahui determinan utama dari penyakit perusahaan, apakah internal, eksternal, atau kombinasi keduanya. Apakah juga karena faktor yang sifatnya generik atau kontekstual, apakah juga karena faktor politis, ekonomis, atau psikologis.

Berbagai sudut pandang yang muncul dalam proses diagnosis perusahan sakit ini akan mempermudah resep seperti apakah yang akan diberikan kepada perusahaan, baik dalam perspektif jangka pendek/kritis, jangka menengah, dan jangka panjang secara holistik. Semoga bermanfaat.

Get Trained

Warta Ekonomi memiliki komitmen untuk menciptakan dunia bisnis yang lebih baik. Dapatkan jadwal pelatihan terbaru Irfan Riza dengan mengikuti akun media sosial Warta Ekonomi di Akun Facebook dan Akun Instagram.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: