Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

3 Risiko Terbesar Industri Reasuransi: Teknologi, Risiko Siber, dan Perubahan Iklim

3 Risiko Terbesar Industri Reasuransi: Teknologi, Risiko Siber, dan Perubahan Iklim Kredit Foto: F5 Labs
Warta Ekonomi, Jakarta -

PwC kembali merilis survei Reinsurance Banana Skins 2019, yang menemukan sejumlah risiko paling serius yang dihadapi para pejabat dan pengamat industri di seluruh dunia.

Survei tersebut menunjukkan bahwa respons industri terhadap kesiapannya dalam mengelola dan menangani risiko-risiko tersebut telah meningkatkan tajam.

"Di tengah lingkungan eksternal yang terus berubah, industri asuransi terus bekerja dan berkembang untuk merespons kebutuhan nasabah, pemegang saham, dan regulatornya yang juga terus berubah," tulis PwC dalam keterangannya, Selasa (17/9/2019).

Dari sekitar sepuluh risiko yang diidentifikasi oleh PwC, tiga risiko paling terbesar yang dihadapi industri reasuransi ialah teknologi, risiko siber, dan perubahan iklim. Risiko lainnya ialah manajemen perubahan, regulasi, kinerja investasi, SDM, persaingan, risiko politik, ekonomi makro, penurunan biaya, dan suku bunga.

Baca Juga: Klaim Asuransi Jiwa Naik 8,21% di Kuartal II-2019

Teknologi berasal dari ketakutan bahwa perusahaan reasuransi masih berkutat dengan sistem-sistem TI yang kurang cepat menanggapi perubahan. Sementara itu, sumber data yang baru semakin banyak.

Sementara risiko siber merupakan salah satu kekhawatiran utama bagi perusahaan reasuransi karena sulitnya mengetahui secara tepat besarnya kewajiban penjaminan kebijakan siber, serta ancaman serangan siber langsung terhadap perusahaan-perusahaan asuransi yang memegang data penting.

"Teknologi dan siber mendominasi agenda risiko perusahaan reasuransi. Bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut mengelola risiko-risiko ini sangat penting bagi kredibilitas, profitabilitas, dan kapasitas inovasi jangka panjang di industri tersebut," kata Stephen O’Hearn, Global Insurance Leader PwC.

Risiko terbesar ketiga ialah perubahan iklim, yang kali ini semakin mendapatkan perhatian. Industri reasuransi mengungkapkan kecemasannya terkait biaya klaim yang semakin besar akibat meningkatnya frekuensi dan besarnya dampak bencana alam, dan prospek bahwa beberapa risiko mungkin tidak dapat diasuransikan.

"Dunia berada di bawah ancaman perubahan lingkungan yang mungkin tidak dapat dikembalikan seperti semula. Melalui pemodelan dan saran, perusahaan reasuransi berperan penting dalam upaya global menghadapi ancaman-ancaman tersebut dan mendorong pemahaman, perlindungan, dan ketahanan di seluruh dunia," kata Andy Moore, Global Insurance Risk & Regulatory Leader PwC.

Sementara itu, manajemen perubahan mewakili kekhawatiran yang masih berlanjut terkat pasar asuransi yang digantikan oleh teknologi baru dan perubahan besar pada ekspektasi nasabah.

Direktur sebuah perusahaan asuransi P&C di Filipina berkata, "Kini nasabah lebih menuntut layanan yang baik, kemudahan akses, sekaligus harga yang murah. Ketidakmampuan untuk merespons kebutuhan ini dapat menyebabkan hilangnya peluang bisnis (bagi perusahaan)."

Risiko kelima terkait regulasi disebabkan adanya ketakutan masuknya aturan baru, seperti GDPR dan IFRS 17.

"Jika kita memperhatikan kelima risiko teratas secara keseluruhan, yang paling terlihat adalah sejauh mana risiko-risiko tersebut saling memengaruhi. Teknologi mendorong perubahan risiko manajemen, misalnya, sama seperti regulasi data dan ancaman siber meningkatkan risiko teknologi. Ini menegaskan pentingnya memiliki pandangan holistik pada pandangan risiko masa kini yang berevolusi dengan cepat," kata O'Hearn menambahkan.

Baca Juga: Investasi Dongkrak Pendapatan Premi Asuransi Jiwa di Kuartal II 2019

Selain itu, sejumlah tema industri yang luas muncul dari respons pasar reasuransi. Tema-tema ini termasuk konsolidasi, kapasitas, dan globalisasi.

Menurut David Wake, Financial Services Advisor PwC Indonesia, banyak respons yang mengindikasi bahwa perusahaan reasuransi melihat dirinya sebagai bagian dari pasar terglobalisasi, di mana usaha dan persaingan bergerak tanpa memperhatikan batas negara dibandingkan dengan perusahaan asuransi ritel.

"Hal ini menciptakan fokus yang lebih kuat pada hal-hal seperti lingkungan usaha yang adil (level playing field) dalam regulasi dan perpajakan, ancaman proteksionisme, daftar hitam pusat-pusat keuangan, dan lainnya," tukasnya.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: