Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jangan, Jangan Perpanjang Masa Jabatan Presiden! Bahaya di Depan Mata!

Jangan, Jangan Perpanjang Masa Jabatan Presiden! Bahaya di Depan Mata! Kredit Foto: (foto: Twitter/@jokowi)
Warta Ekonomi, Jakarta -

Anggota DPR RI, Fadli Zon, menilai usulan perpanjangan masa jabatan presiden dalam amendemen terbatas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan wacana yang berbahaya.

"Itu wacana yang berbahaya bagi demokrasi kita. Harus dihentikan karena itu akan memicu kontroversi dan kegaduhan," kata Fadli Zon saat ditemui, Sabtu (23/11/2019).

Batas maksimum kepemimpinan dua periode dan setiap masa jabatan selama lima tahun, menurut dia, merupakan bagian dari konvensi bangsa Indonesia.

"Itu sudah tertuang dalam konstitusi. Nanti kalau diubah, itu seperti membuka kotak pandora," kata Fadli Zon.

Baca Juga: Soal Isu Masa Jabatan Presiden Jadi Tiga Periode, Begini Komentar Wakil Ketua MPR

Fadli Zon mengatakan, kotak pandora tersebut berupa persoalan berantai yang akan muncul ketika wacana itu diakomodasi dalam amendemen terbatas UUD NRI Tahun 1945.

"Orang mau mengubah apa nantinya bisa. Nanti malah ada mempertanyakan dasar negara dan lain-lain yang membahayakan negara, kan bisa saja orang minta semacam itu," kata dia.

Sebaiknya, menurut Fadli Zon, siapa pun mesti menyudahi hal-hal yang bisa menimbulkan kegaduhan dan jangan memicu isu-isu yang membuat bangsa kacau.

Hal senada turut dilontarkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menyebut bahwa masa jabatan presiden paling ideal adalah dua periode.

Partai yang dikomandoi oleh Megawati Soekarnoputri itu menolak usulan atau wacana revisi masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Baca Juga: Presiden Tiga Periode, Wapres Setuju?

"Ya, kami tidak sependapat karena semangat reformasi telah membatasi jabatan presiden sebanyak dua periode paling lama," kata Sekretaris Jendral PDIP Hasto Kristiyanto di sela peresmian DPC partai di Purwakarta, Sabtu (23/11/2019).

Hasto mengungkapkan, aturan masa jabatan kepala negara yang berlaku saat ini masih ideal. Menurut dia, untuk saat ini, negara tidak perlu mengubah aturan yang ada.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dinilai memanfaatkan momentum wacana amendemen terhadap UUD 1945 yang sedang bergulir. PSI mengusulkan agar masa jabatan presiden yang tadinya lima tahun dan dua periode menjadi tujuh tahun dan hanya satu periode.

Partai yang gagal melampaui ambang batas parlemen pada Pemilu 2019 lalu itu berpendapat, dengan masa jabatan yang hanya satu periode membuat presiden terlepas dari tekanan politik jangka pendek. Presiden juga diharapkan dapat lebih berfokus untuk melahirkan kebijakan terbaik serta terbebas dari pragmatisme.

Baca Juga: Adu 'Gemuk' Staf Khusus Presiden era SBY dan Jokowi

"Jika hanya satu periode, setiap presiden akan bekerja semaksimal mungkin, fokus bekerja buat rakyat dan tak memikirkan pemilu berikutnya," kata Ketua DPP PSI, Tsamara Amany, dalam keterangan tertulisnya.

Hasto mengatakan, amendemen UUD 1945 yang diwacanakan PDIP hanya sebatas Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Partai berlogo banteng moncong putih itu menegaskan, sikap PDIP soal amendemen terbatas hanya terkait haluan negara.

PDIP, Hasto mengatakan, berpendapat bahwa negara dan bangsa memerlukan arahan untuk menuju terhadap visi tertentu, semisal masyarakat adil dan makmur. Dia melanjutkan, amendemen terbatas diadakan untuk menempatkan haluan negara sebagai pedoman bagi seluruh arah dan perjalanan bangsa 25, 50, hingga 100 tahun ke depan.

PDIP, ungkap Hasto, akan segera berdialog dengan pimpinan partai-partai politik lainnya terkait amendemen tersebut. Hal serupa, sambung dia, juga bakal dilakukan pimpinan fraksi untuk menyusun agenda-agenda strategis terkait dengan hal tersebut.

"Sebagai partai yang berasal dari rakyat, kami juga mende ngarkan seluruh aspirasi, masukan dari seluruh komponen bangsa," katanya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Lestari Ningsih

Bagikan Artikel: