Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Serapan CPO Bersertifikat Sustainability Baru 60%, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Serapan CPO Bersertifikat Sustainability Baru 60%, Siapa yang Bertanggung Jawab? Kredit Foto: Sawit Indonesia
Warta Ekonomi, Jakarta -

Konsumen minyak sawit dunia yang selama ini menuntut sustainability ternyata inkonsisten. Akibatnya, penyerapan pasar CPO bersertifikat sustainablity baru sekitar 60% dari produksi CPO bersertifikat sustainability.

Demikian diungkapkan oleh Menteri Pertanian Periode 2000-2004, Bungaran Saragih, saat menghadiri diskusi Evaluasi Penyerapan CPO Bersertifikat di Pasar Global, yang digelar majalah Sawit Indonesia dan Kementerian Pertanian RI, di gedung PIA, Selasa (26/11//2019). Menurutnya, konsep sustainability yang berlaku dan diadopsi sekarang ini baik ISPO maupun RSPO merupakan konsep absolute sustainability dengan dua kategori yakni sustainable or unsustainable.

Baca Juga: Lelah, Harga CPO Fluktuatif Lagi

"Pendekatan sustainability bersifat mutlak tidak tepat. Sustainability ini merupakan konsep relatif yakni lebih sustainable (more sustainable) dari sebelumnya atau dibandingkan yang lain," ungkap Bungaran.

Diakuinya bahwa banyak pihak berpandangan bahwa sertifikasi sustainability minyak sawit dinilai diskriminatif karena hanya menuntut sertifikasi pada komoditas sawit dan belum diberlakukan di seluruh komoditas maupun produk yang diperdagangkan secara internasional. Kewajiban sustainability ini bersifat menyeluruh, baik dalam perundang-undangan berlaku di Indonesia maupun platform SDG’s yang telah diratifikasi di  Indonesia.

"Kita harus paham bahwa Indonesia punya peluang mengisi kebutuhan pasar minyak sawit dunia.  Kita harus melihat peluang itu, jangan diabaikan. Itu sebabnya, produktivitas dan kualitas harus diperhatikan bersama," pungkas Bungaran.

Pengamat Perkelapasawitan Maruli Gultom menambahkan, kalangan produsen kelapa sawit menuntut janji penyerapan minyak sawit berkelanjutan atau Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) di pasar global. Setiap tahun, penjualan CSPO di bawah 50% berakibat oversuplai CSPO dan tidak adanya premium price bagi konsumen. Walaupun, produsen sudah mampu memenuhi prinsip dan kriteria sertifikat berkelanjutan sesuai permintaan negara maju terutama Eropa.

"RSPO tidak membela kepentingan industri sawit baik produsen dan petani. Yang terjadi, tekanan terus diberikan. Saat harga turun ataupun tidak ada premium price. Mereka tidak membela anggotanya," kata Maruli.

Maruli menengarai sertifikasi RSPO lebih banyak memuat kepentingan business to business. Buktinya, anggota RSPO harus membayar iuran setiap tahun. Mahalnya biaya sertifikasi dan surveillance menjadi bukti RSPO lebih banyak bersifat bisnis.

"Produsen mau saja bayar untuk dipermalukan oleh NGO dalam forum tahunan. Kalaupun ingin menerapkan prinsip sustainable, tidak perlu menjadi anggota RSPO," imbuhnya.

Maruli juga mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab ketika premium price tidak terwujud. Harusnya sertifikasi ini memberikan nilai tambah bagi pesertanya, tetapi faktanya sangatlah berbeda. Penolakan sawit di Eropa bukanlah persoalan merusak lingkungan, tetapi persaingan energi dengan produk minyak nabati yang diproduksi Eropa seperti kedelai, rapeseed, dan sun flower.

"Yang harus dipahami bahwa tidak semua konsumen di Eropa mau membayar premium price bagi produk minyak sawit berkelanjutan. Siapa yang bertanggung jawab ketika premium price tidak ada (bagi produsen dan petani sawit)?” ungkapnya.

Perwakilan petani yang hadir dalam diskusi mengakui terjadi ketidakadilan bagi petani peserta RSPO. Ketua Umum DPP APKASINDO, Gulat Manurung, menyebutkan anggotanya dikejar-kejar mengikuti  sertifikasi RSPO. Setelah dapat, harga yang diterimanya tetap sama.

Petani dijanjikan harga bagus, tapi tidak ada. Menurutnya, permintaan minyak sawit bersertifikat lebih rendah dari produksi. Pembeli yang ingin minyak sawit bersertifikat jumlahnya juga sedikit. Artinya, tuntutan sertifikat bagian politik dagang negara pembeli seperti Eropa.

"Kita dituduh merusak hutan dan lingkungan. Padahal, yang menuduh belum tentu paham dan mengerti sawit," tegasnya.

Para pembicara dalam diskusi tersebut pun sepakat Indonesia harus berdaulat di kancah perdagangan sawit global. Bungaran Saragih mengakui program B30 dapat meningkatkan permintaan minyak sawit domestik dan sebaiknya dapat berjalan konsisten. Saat ini, pasar CPO terbesar berada di India dan China. Termasuk juga kebutuhan pasar domestik setelah B30 berjalan.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: