Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Rekor! Produksi Baja CRC Krakatau Steel Pecahkan Rekor Tembus...

Rekor! Produksi Baja CRC Krakatau Steel Pecahkan Rekor Tembus... Kredit Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Warta Ekonomi, Jakarta -

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di industri baja yakni PT Krakatau Steel (Persero) Tbk sukses memperbaharui rekor produksi bulanan baja Cold Rolled Coil (CRC) sebesar 70.911 ton dari rekor sebelumnya 70.000 ton pada 2009.

Diketahui sebelumnya, perseroan berkode saham "KRAS" ini juga berhasil memecahkan rekor produksi dari pabrik Hot Strip Mill (HSM). Direktur Utama Krakatau Steel, Silmy Karim, mengatakan prestasi ini menjadi sebuah kabar gembira di penghujung tahun 2019. Dirinya mewakili perusahaan bersyukur atas pencapaian ini dan tentunya mengapresiasi usaha keras seluruh karyawan. 

Baca Juga: Dalam 100 Hari Erick Thohir Jabat Menteri BUMN, Krakatau Steel Bisa Sehat!

"Saya sangat bersyukur bahwa berbagai capaian saling beriringan sebagai penambah keyakinan langkah kebangkitan Krakatau Steel perlahan telah membuahkan hasil nyata," ungkap Silmy.

Selain itu, capaian rekor produksi ini membuktikan keterujian untuk keandalan alat produksi dan penerapan operation excellent yang baik. Dengan produksi ini, PT KS dapat menjaga ketersediaan produk CRC di pasaran.

"Kami terus berbenah dan melakukan perbaikan. Krakatau Steel secara perlahan mulai membangun kembali sinergitas tim antarlintas fungsi dan lebih fokus kepada pelayanan konsumen. Kami meyakini dan akan menjalani hal ini dengan konsisten. Harapannya, kinerja Krakatau Steel akan makin baik dan sehat lagi," imbuh Silmy.

Namun, di sisi lain, Silmy juga berharap capaian ini dapat diikuti oleh pasar baja yang mendukung industri baja nasional. Saat ini, rata-rata utilisasi produksi baja domestik hanya mencapai 43% akibat dari masifnya impor baja.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI di tahun 2019, neraca perdagangan Indonesia hingga bulan Oktober 2019 defisit sebesar US$1,7 miliar. Sampai Agustus 2019 impor baja masih menempati posisi tiga besar komoditas impor yang masuk ke Indonesia, dengan nilai impor mencapai US$6,7 miliar meningkat sekitar 6% jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2018.

Membanjirnya impor baja ke pasar domestik tersebut didukung beberapa faktor di dalam negeri yaitu di antaranya dengan cara unfair trade seperti dumping dan praktik pengalihan pos tariff (HS code) baja karbon menjadi paduan (circumvention) yang terus terjadi.

"Saat ini, importasi produk baja tidak hanya menyerang industri baja hulu saja, tetapi juga industri baja hilir/produk barang jadi dengan kualitas yang rendah dan tidak standar. Hal ini telah menyebabkan tergerusnya pangsa pasar produsen baja nasional sehingga dibutuhkan upaya perlindungan industri yang diterapkan secara merata dari hulu hingga hilir," ujar Silmy.

Silmy bertutur, bentuk perlindungan pemerintah terhadap industri dalam negeri adalah dengan menerapkan bea masuk trade remedies. Penerapan bea masuk trade remedies seperti anti-dumping, antisubsidi, maupun safeguard perlu diterapkan oleh Pemerintah Indonesia dari produk hulu hingga produk hilir.

"Kecenderungan setiap negara sekarang adalah proteksionisme. Mereka berupaya memproteksi industri dalam negerinya, bukan malah membuka bebas akses importasi," imbuh Silmy.

Selain itu, Silmy menambahkan bahwa transparansi data yang memuat jumlah, kebutuhan, dan para pelaku dalam kegiatan impor baja diperlukan. Hal ini bertujuan agar bersama-sama dapat dipantau pelaksanaannya.

"Pengawasan kegiatan impor baja penting untuk dilakukan. Dengan adanya tranparansi, akan dicapai keseuaian antara pasokan impor dan kebutuhannya, tanpa menganggu utilisasi dan pasar baja domestik," tutup Silmy.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: