Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kritisi Kebijakan Nadiem, Pakar: Indonesia Perlu Belajar dari Runtuhnya Uni Soviet

Kritisi Kebijakan Nadiem, Pakar: Indonesia Perlu Belajar dari Runtuhnya Uni Soviet Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ditunjuknya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) terus memantik respons di kalangan masyarakat. Pola pikirnya sebagai generasi muda yang kerap out of the box seringkali menjadi sorotan, baik bagi masyarakat yang sepakat maupun juga yang tidak setuju dengan berbagai gagasan yang dilontarkan mantan bos Go-Jek tersebut.

Kali ini, respons juga datang dari kalangan lembaga masyarakat dan praktisi pendidikan yang mengingatkan agar Nadiem tidak terjebak hanya mengejar kompetensi pendidikan, tetapi tercerabut dari semangat kebangsaan.

Baca Juga: Ini Alasan Nadiem Hapus UN, Masuk Akal Juga

"(Pesan) Ini sangat penting. Negara-negara yang hancur itu benar-benar ada. Tercatat dalam sejarah. Coba misalnya kita lihat Uni Soviet. Mereka perekonomiannya kuat, militernya kuat, tingkat pendidikan tinggi, kekayaannya juga cukup besar. Tapi toh hancur juga. Lalu apa yang salah? Kesalahan mereka adalah tidak adanya semangat kebangsaan di masyarakatnya," ujar Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo, di Jakarta, Rabu (11/12).

Pernyataan tersebut disampaikan Pontjo dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan atas kerja sama Aliansi Kebangsaan, Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB), dan Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri (FKPPI).

Lebih mendalam, Pontjo menyebut bahwa semangat kebangsaan dapat diartikan sebagai sebuah semangat warga negara untuk hidup bersama dalam lingkup sebuah bangsa dan negara. Semangat inilah yang bila berkaca pada realitas di masyarakat yang terjadi saat ini, dalam pandangan Pontjo, sudah sangat memprihatinkan.

"Dalam kehidupan politik dewasa ini, kita sudah bisa melihat sinyal-sinyal bahwa semangat hidup bersama itu sudah sangat tergerus. Masing-masing kelompok merasa dirinya paling benar, paling penting. Lalu kelompok lain dianggap tidak penting. Kalau sinyal-sinyal seperti ini dibiarkan, negara dianggap tidak perlu lagi ada. Perekat kebangsaannya sudah hilang, sepeti yang terjadi di (Uni) Soviet," tutur Pontjo.

Tidak hanya semangat kebangsaan, tugas pendidikan juga adalah membentuk warga-warga negara yang unggul dan siap setiap saat membela bangsanya di tengah ekosistem dunia. Pontjo mengibaratkan dalam sebuah pasukan militer, kuat atau lemahnya pasukan tersebut akan sangat ditentukan oleh kualitas para prajurit yang tergabung di dalamnya.

"Jangan hanya memosisikan individu-individu dalam negara itu semata-mata sebagai penduduk, tapi lebih pada seorang warga negara. Seperti arti katanya sendiri, seorang penduduk semata-mata hanya orang yang menduduki atau menempati wilayah sebuah teritori kenegaraan," kata Juru Bicara YSNB, Bambang Pharma, dalam kesempatan yang sama.

Lanjutnya, jika penduduk, dia sifatnya pasif. Namun, kalau warga negara lebih menekankan ke masing-masing individu yang berkumpul dalam satu negara bahwa meraka punya kewajiban untuk membela negaranya setiap saat ketika dibutuhkan.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Taufan Sukma
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: