Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Alasan-alasan Warga India Menolak UU Kontroversial

Alasan-alasan Warga India Menolak UU Kontroversial Kredit Foto: Reuters/Vinod Babu
Warta Ekonomi, New Delhi -

Aksi protes berlangsung di seluruh India untuk menolak undang-undang kewarganegaraan yang kontroversial. Menurut para kritikus, undang-undang ini melanggar konstitusi sekuler negara itu.

Undang-undang yang disahkan pekan lalu itu bertujuan untuk memberikan kewarganegaraan kepada orang-orang Hindu, Parsis, Sikh, Buddha, Jain, dan Kristen yang "dianiaya", yang tiba di India sebelum 31 Desember 2014 dari Bangladesh, Pakistan atau Afghanistan. Namun, undang-undang ini tidak berlaku pada komunitas Muslim.

Partai-partai oposisi berpendapat, undang-undang itu diskriminatif - bahkan PBB mengatakan demikian - dan memilih hampir 15 persen minoritas Muslim di antara 1,3 miliar orang di India. Meskipun undang-undang telah memicu protes di seluruh negeri, para pengunjuk rasa memiliki alasan yang berbeda untuk turun ke jalan.

Baca Juga: Diminta Angkat Kaki dari India, Turis Asal Norwegia Ini Rupanya Ikut Aksi Unjuk Rasa

Alasan pertama, di negara bagian Assam di timur laut India yang berbatasan dengan Bangladesh, Myanmar, dan China, para demonstran, baik di kota Guwahati dan daerah-daerah lain khawatir undang-undang baru itu akan mendorong umat Hindu dari Bangladesh untuk menetap di wilayah tersebut.

Assam adalah lokasi pertama demonstrasi menolak undang-undang ini berlangsung, di mana sejumlah orang tewas. Beberapa diantara yang tewas karena ditembak polisi, ketika massa membakar gedung-gedung dan stasiun kereta.

Orang Assam mengatakan, hukum kewarganegaraan yang memungkinkan umat Hindu dari Bangladesh untuk menetap di sana akan membebani sumber daya dan mengancam bahasa, budaya, dan tradisi mereka.

Baca Juga: India Tolak Pengungsi Muslim dari Afghanistan, Pakistan, dan Bangladesh, Begini Dalihnya

Alasan lainnya mengapa ada kebencian dan kemarahan yang mendalam terhadap undang-undang kewarganegaraan, terutama di kalangan mahasiswa Muslim adalah karena undang-undang tersebut dipandang sebagai bagian dari agenda Perdana Menteri Narendra Modi untuk memarginalkan 200 juta Muslim di India.

"Konstitusi India menentang setiap hukum yang mendiskriminasi berdasarkan agama, kasta, kepercayaan atau gender. (Undang-undang kewarganegaraan) ini merupakan upaya yang jelas untuk mendeklarasikan Muslim sebagai warga negara kelas dua," ungkap Anupam Tiwari, seorang siswa Jamia Millia Islamia (JMI)

Sejak undang-undang disahkan pada 12 Desember, ribuan siswa JMI di New Delhi dan Universitas Muslim Aligarh (AMU) di negara bagian Uttar Pradesh, lembaga minoritas terbesar di India yang terletak 130 km dari ibukota India, diserbu oleh polisi.

Baca Juga: Otoritas India Tingkatkan Keamanan di Beberapa Masjid usai Salat Jumat

Dalam serangan serentak yang hampir bersamaan, polisi dengan pakaian anti huru hara menyerbu ke dua kampus, menembakkan peluru gas air mata dan menggunakan senjata tongkat pada siswa yang memprotes. Lebih dari 100 siswa terluka dalam aksi polisi, beberapa diantaranya kritis.

Berbagai media, termasuk The Washington Post, melaporkan setidaknya dua demonstran JMI dibawa ke rumah sakit dengan luka tembak. Serangan terhadap dua kampus tersebut telah memancing kemarahan dan kalangan mahasiswa dan guru serta dosen. Ribuan siswa berbaris di kampus mereka atau di jalanan pada hari Senin dalam solidaritas dengan siswa JMI dan AMU, dan untuk menegakkan prinsip-prinsip sekuler konstitusi India.

Aksi solidaritas diselenggarakan di hampir dua lusin kota di seluruh India, termasuk ibu kota New Delhi, pusat keuangan Mumbai, Ahmedabad di negara bagian Gujarat, dan Thiruvananthapuram di Kerala. Sejumlah organisasi dan individu masyarakat sipil juga telah bergabung dengan para pengunjuk rasa di kota-kota ini.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: