Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jakarta Bisa Makin Buruk, Pengamat: Pak Anies Harus Bisa Selesaikan Pembebasan Lahan!

Jakarta Bisa Makin Buruk, Pengamat: Pak Anies Harus Bisa Selesaikan Pembebasan Lahan! Kredit Foto: Antara/Nova Wahyudi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya akan bertambah buruk bila tidak ada langkah dan anggaran memadai untuk mengatasi bencana, kata seorang pengamat tata kota.

Hujan dengan intensitas tinggi menyebabkan setidaknya 19.000 orang mengungsi dari 41 titik yang tergenang di Jakarta. Padahal, puncak musim hujan diperkirakan baru akan datang pada pertengahan Januari hingga awal Maret, kata Fachri Radjab, kepala Pusat Meteorologi Publik, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Baca Juga: Cerita Banjir Jakarta: Sampah Kiriman Pohon dari Bogor

Hingga Rabu malam (01/01), setidaknya sembilan orang meninggal dunia di Jakarta dan Jawa Barat, menurut data Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB). Pengamat tata kota Yayat Supriatna mengatakan bencana di ibu kota akan makin memburuk tanpa anggaran yang memadai dan tanpa perbaikan fasilitas seperti drainase dan normalisasi sungai.

Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, mengatakan tak kurang dari 120.000 petugas dikerahkan untuk menghadapi banjir. Banjir yang terjadi pada tahun baru ini merupakan yang terbesar sejak Januari 2013 dengan korban meninggal saat itu 12 orang.

Kawasan yang dulu tak tergenang sekarang banjir

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Jakarta, Yayat Supriatna, mengatakan banjir di awal 2020 melanda kawasan-kawasan yang tadinya tidak terkena banjir dalam tiga tahun terakhir.

"Contohnya di kawasan Jl. S. Parman, itu mengalami potensi genangan yang cukup tinggi. (Kawasan) Halim juga sama. Yang cukup parah itu ada di Jakarta Timur ... Tahun 2020 ini (banjir) lebih merata, dan lokasinya menyebar," kata Yayat.

"Kalau banjir dengan pola seperti ini, bisa dikatakan bahwa sistem yang ada tidak mampu menghadapi kondisi cuaca ekstrem. Jakarta itu, sebetulnya kalau curah hujan antara 50-100 mm saja dalam durasi dua jam sudah banyak genangan," katanya.

Ia mengatakan, desain yang dipakai sampai sekarang belum banyak yang berubah. Misalnya, desain drainase kota yang dibuat di zaman kolonial Belanda masih tetap dipakai hingga sekarang.

"Situasi Jakarta akan makin buruk"

Menurut Yayat, program naturalisasi dan normalisasi sungai untuk mengatasi banjir terkendala oleh pembebasan tanah. "Kalau Pak Anies tidak mampu melakukan pembebasan tanah terkait berbagai program penanggulangan banjir di Jakarta, tidak akan ada perubahan," kata Yayat.

Jika tidak ada perubahan besar, kata Yayat, situasi di Jakarta akan makin buruk dalam beberapa tahun ke depan karena tekanan penduduk yang makin banyak. Yayat melihat tidak ada anggaran yang memadai untuk mengatasi banjir secara mendasar, misalnya penanganan drainase di pusat utama kota yang memang perlu penanganan terus-menerus.

"Kalau itu tidak ada, kita akan mengulang kisah-kisah lama. Baru beberapa minggu lalu kita membahas genangan atau banjir di 19 ruas jalan Jakarta. Artinya, peristiwa itu belum sampai satu bulan sudah terulang kembali. Setiap masuk musim hujan, dari November kita akan terus menerus menghadapi peristiwa yang sama," ujar Yayat.

Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Juaini Yusuf, mengakui masih banyak saluran peninggalan Belanda di jalan-jalan protokol. Namun, Pemprov Jakarta juga sudah membuat saluran-salura tambahan untuk menambah kapasitas di saluran yang lama, tambahnya. Terkait normalisasi sungai, Juaini mengatakan pihaknya antara lain terganggu masalah pembebasan lahan.

"Kita berhadapan dengan warga, ada yang menolak dan ada yang menerima. Banyak kendala, (misalnya) masalah keabsahan surat. Itu jadi agak lama memproses pembebasan lahan. Prinsipnya, normalisasi dikerjakan oleh Kementerian PU (Pekerjaan Umum), kita yang melaksanakan pembebasan lahan," kata Juaini.

"Ada juga calo-calo atau mafia tanah yang bermain di situ, (jadi) kita harus hati-hati, kalau kita salah membayar orang, kita juga yang kena," katanya.

Ia mengatakan, tata kelola air bukan masalah Jakarta saja. "Sumber air itu datangnya dari hulu, di Bogor dan Depok. Kita harus bekerja sama antar wilayah. Kita sudah berapa kali koordinasi dengan Bogor dan Depok untuk membantu dan menyiapkan waduk-waduk di luar Jakarta supaya mengantisipasi dan mengurangi debit air yang masuk ke Jakarta," kata Juwaini.

Anies Baswedan dalam wawancara dengan media mengatakan antisipasi banjir dilakukan dengan membersihkan saluran-saluran air dan menyiapkan tak kurang dari 500 pompa yang dimiliki Pemprov Jakarta.

"Ini semua harus dikelola dengan baik. Ini terjadi ketika curah hujannya ekstrem, seperti yang kita alami sekarang," kata Anies.

Wilayah- wilayah rawan bencana

Menurut BNPB, hampir seluruh wilayah Indonesia saat ini rawan bencana banjir, longsor, puting beliung, dan abrasi pantai.

"Musim penghujan itu dari barat ke timur, itu boleh dikatakan bergiliran. Puncak musim hujan terjadi dari utara, dari Aceh, sampai ke Sumatera yang sedang puncak-puncaknya. Sementara untuk daerah-daerah seperti Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Nusa Tenggara itu masuk ke musim penghujan yang sudah mulai intens. Puncaknya pada akhir Januari sampai Maret."

Hujan ekstrem yang cepat dan dengan intensitas tinggi berpotensi menimbulkan banjir bandang, banjir, dan longsor. "Itu bencana-bencana yang biasa terjadi di musim hujan," kata juru bicara BNPB, Agus Wibowo.

"Sebelum tahun baru ada banjir di Bandung barat, Labuhan Batu, Sumatera Utara, lalu Jakarta, Bekasi dan sekitarnya. Secara prinsip di Indonesia, semua wilayah bahaya dan sebagian besar sudah menyatakan siaga darurat sehingga penanganannya bisa lebih serius lagi oleh masing-masing pemerintah daerah," kata Agus.

Pernyataan senada disampaikan Fachri Radjab, kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG. Fachri mengatakan hampir seluruh wilayah Indonesia sudah memasuki musim hujan.

"Kita perlu mewaspadai hujan lebat di Sumatera, utamanya di pesisir barat, mulai dari Sumut, Sumbar, Bengkulu, Sumsel, Lampung, kemudian sebagian besar Jawa. Kemudian Kalimantan bagian barat, bagian utara, kemudian Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, terus Tenggara, Gorontalo, kemudian Papua bagian tengah itu perlu diwaspadai juga," kata Fachri.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: