Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Realitas Neraca Minyak Bumi Indonesia

Realitas Neraca Minyak Bumi Indonesia Kredit Foto: Antara/Syaiful Arif
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pernyataan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu tentang klaimnya yang sudah mengetahui mafia migas di Indonesia kembali menjadi bahan bahasan publik. Adanya permainan mafia migas dalam "mengatur" impor migas Indonesia ditengarai menjadi salah satu alasan mandeknya pembangunan kilang minyak yang sudah diprogramkan sejak tahun 2014 lalu.

Pembangunan kilang diharapkan mampu menutupi defisit produksi yang makin besar. Kebutuhan minyak mentah nasional saat ini mencapai 1,8 juta barel per harinya, sedangkan berdasarkan data Trading Economic per Agustus 2019 produksi minyak bumi Indonesia berada pada angka 659 ribu bph (barel per hari). Jika dibandingkan dengan sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu jelas angka tersebut makin sedikit. Pada tahun 2000, produksi minyak bumi Indonesia masih berada di kisaran 1,5 juta bph, kemudian pada tahun 2010 menjadi 1 juta bph.

Baca Juga: Masa Mafia Migas Bisa Hambat Pembangunan Kilang?

Kemudian bagaimana kondisi produksi minyak bumi Indonesia saat ini jika dibandingkan dengan negara-negara lain?

Berdasarkan data yang dihimpun dari Trading Economic, posisi produksi minyak bumi Indonesia per Agustus 2019 berada pada angka 659 ribu bph atau berada di posisi 25 negara-negara penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia. Penghasil minyak bumi terbesar dunia saat ini adalah Amerika Serikat yang produksinya mencapai 12,4 juta bph, diikuti oleh Rusia dan Arab Saudi masing-masing 10,8 juta bph dan 9,8 juta bph.

Bahkan, untuk posisi 10 besar negara penghasil minyak dunia, separuhnya bukanlah negara anggota OPEC. Selain Amerika Serikat dan Rusia, negara-negara bukan anggota OPEC yang masuk ke dalam daftar 10 besar adalah Kanada (peringkat 5) dengan produksi 4,3 juta bph, China (peringkat 6) dengan produksi 3,8 juta bph, dan Brazil (peringkat 8) dengan produksi 2,9 juta bph. 

Negara non-OPEC yang memiliki produksi harian lebih besar dibandingkan Indonesia adalah Kazakhstan dengan 1,8 juta bph, Meksiko 1,7 juta bph, Norwegia 1,3 juta bph, Inggris 1 juta bph, Oman 970 ribu bph, Kolombia 882 ribu bph, Azerbaijan 758 ribu bph, dan India 662 ribu bph. Benar sekali, India negara yang lebih terkenal akan keunggulan sektor IT-nya tersebut bahkan mampu memproduksi minyak bumi lebih besar dibandingkan Indonesia. 

Reformasi di sektor energi menjadi pekerjaan rumah pemerintah guna meningkatkan produksi minyak bumi serta meningkatkan kesadaran energy mix atau penggunaan energi berkelanjutan agar tidak terlalu bergantung pada energi fosil. Impor energi yang selama ini dilakukan merupakan beban yang cukup besar pada porsi APBN sehingga dengan kemandirian produksi ataupun penggunaan energi berkelanjutan diharapkan dapat menurunkan beban tersebut dan dapat dialokasikan ke sektor lain yang membutuhkan seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. 

Defisit antara produksi dan konsumsi minyak mentah Indonesia makin membesar dari tahun ke tahun. Berdasarkan publikasi dari British Petroleum Statistical Review 2019, surplus minyak mentah Indonesia terakhir terjadi sebesar 100 ribu bph pada tahun 2002, yakni dengan produksi 1,3 juta bph dan konsumsi 1,2 juta bph. Pada tahun 2005, Indonesia defisit 200 ribu bph, meningkat menjadi 400 ribu bph pada tahun 2010 hingga akhirnya defisit 1 juta bph pada akhir 2018.

Kebijakan impor yang dilakukan untuk memenuhi defisit tersebut ditengarai disusupi oleh permainan oknum-oknum yang mencari keuntungan di balik kondisi ini. Para mafia migas inilah yang diduga menghambat pembangunan kilang minyak, yang pada akhirnya membebani keuangan negara akibat impor energi.

Kebijakan pemerintah menerapkan aturan B30 merupakan salah satu upaya mengurangi penggunaan energi fosil. Pengembangan hingga mencapai B100 akan dilakukan secara bertahap, hingga bauran energi dapat tercapai dan mampu meningkatkan permintaan terhadap komoditas utama Indonesia, yakni kelapa sawit.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: