Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Hadapi Banjir, Jakarta Butuh Sosok Gubernur Pemberani

Hadapi Banjir, Jakarta Butuh Sosok Gubernur Pemberani Kredit Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sejumlah ilmuwan yakin hujan ekstrem yang memicu banjir di Jakarta dan sekitarnya awal Januari lalu merupakan dampak perubahan iklim. Tanpa kebijakan mitigasi dan adaptasi yang tepat, kawasan ibu kota disebut berpotensi kembali dihunjam bencana akibat fenomena global itu.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengklaim selalu memberi peringatan dini soal prediksi iklim ekstrem. Namun pemerintah daerah dianggap tak sigap atas info tersebut. Bagaimanapun, setelah banjir awal Januari ini, Pemprov DKI Jakarta menyatakan akan lebih siap mengantisipasi hujan ekstrem dan melanjutkan program pencegahan yang sempat tertunda.

Baca Juga: Wajarlah Anies Temui Korban Banjir, Gerindra: Kalau Gak, Nanti Dibully Lagi

Merujuk survei yang dilakukan badan riset YouGov dan Departemen POLIS Universitas Cambridge tahun 2019, hanya 18% penduduk Indonesia yang mempercayai kaitan antara kehidupan manusia dan perubahan iklim.

Namun akademisi di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gusti Ayu Surtiari, menilai perubahan iklim bukan cuma tak dianggap nyata, tapi juga belum menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan kebijakan publik. Kegamangan pemerintah membuat proyek adaptasi perubahan iklim itulah yang disebut Gusti gagal menghindarkan masyarakat dari bencana alam.

"Perubahan iklim tidak hanya dianggap itu jauh, tapi karena dampaknya tidak terukur dan waktu terjadinya tidak tentu, pemerintah tidak berani mengambil risiko membuat program dengan ketidakpastian," kata Gusti di Jakarta, belum lama ini.

Gusti berkata, kepala daerah dan pejabat publik yang berani merupakan kunci menghadapi perubahan iklim dan potensi bencana alam yang menyertainya.

"Pemerintah tahu tapi sekedar tahu, tapi belum benar-benar ada program. Proyek adaptasi pasti mahal. Untuk bisa tahu total anggaran program adaptasi, mereka harus tahu dampaknya, nah itu belum terukur," ujar Gusti.

"Mereka sebenarnya paham. Jakarta sudah ikut C40 (forum global pimpinan kota besar di dunia untuk menanggulangi perubahan iklim), pergi ke Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP) juga. Tapi saat harus mengukur dampak dan menyusun anggaran lima tahunan akan mentok. Jadi butuh orang-orang yang berani," tuturnya.

Baca Juga: Ternyata Banjir Tol Cikampek Gara-Gara Proyek Kereta Cepat Bukan Hoaks!!

Fakhrudin, peneliti di Pusat Penelitian Limnologi LIPI, menyebut perubahan iklim menyebabkan curah hujan makin ekstrem pada musim penghujan. Sebaliknya, kekeringan ekstrem juga muncul saat musim kering. Ia berkata, dengan kecenderungan hujan deras yang akan terus meningkat di kawasan Jabodetabek, banjir juga bakal kerap terjadi di wilayah tersebut.

Pembaruan kebijakan yang menyesuaikan perubahan iklim disebutnya vital mencegah banjir di Jakarta dan sekitarnya.

"Biasanya desain pengendalian banjir sudah memperhitungkan data periode hujan yang sebelumnya terjadi, tapi itu perlu diperbarui karena pola hujan sudah berubah," ujar Fakhrudin.

BMKG menyatakan perubahan siklus hujan ekstrem di Indonesia berubah. Fenomena cuaca itu kini terjadi lebih cepat dari perkiraan, dari yang awalnya 10-20 tahun menjadi siklus lima tahunan. Selama tanggal 1 dan 2 Januari lalu, BMKG mencatat curah hujan tertinggi di Jakarta, yaitu 337 milimeter perhari di kawasan Halim Perdanakusuma.

Angka itu merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah pencatatan curah hujan di Jakarta yang dilakukan sejak tahun 1866. Sebelumnya, curah hujan tertinggi di Jakarta terjadi tahun 2007 dengan angka 340 milimeter per hari.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: