Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Demi RSPO, Kelembagaan Petani Sawit Perlu Digenjot!

Demi RSPO, Kelembagaan Petani Sawit Perlu Digenjot! Kredit Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Warta Ekonomi, Jakarta -

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sebagai asosiasi kepengurusan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan memiliki kesamaan visi dengan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), yakni untuk menekan berkurangnya tutupan hutan, mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari perubahan fungsi lahan, serta kepatuhan terhadap persyaratan hukum.

Dalam menetapkan sertifikasi, RSPO memperhatikan dua prinsip yang merupakan bentuk koordinasi dengan aturan sertifikasi yang ditetapkan di masing-masing negara dunia, termasuk Indonesia. Kedua prinsip tersebut berupa hukum lokal serta penelusuran jejak produksi, konsumsi, dan distribusi sawit berkelanjutan dengan menghimpun tujuh stakeholders dalam supply chain sawit yang terlibat.

Baca Juga: Negara, Swasta, dan Rakyat. Siapa Pemilik Sertifikat ISPO Terbanyak?

Mengutip data RSPO, secara keseluruhan, RSPO telah menerbitkan sertifikat terhadap 3,5 juta hektare lahan sawit di dunia. Produksi minyak sawit yang mampu dihasilkan dari lahan yang telah tersertifikasi RSPO tersebut mencapai 14,8 juta ton dengan sekitar 55,43% atau 8,2 juta ton berasal dari Indonesia.

Total luas lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia yang sudah tersertifikasi RSPO mencapai 2,05 juta hektare, termasuk di dalamnya 215.332 hektare lahan petani plasma yang melibatkan sekitar 117.673 petani serta 8.808 hektare lahan petani swadaya dengan 3.371 petani yang terlibat di dalamnya. Hingga Agustus 2019, total produksi minyak sawit petani plasma dan swadaya di Indonesia yang telah bersertifikat masing-masing mencapai 3,89 juta ton dan 179.431,46 ton.

Namun faktanya, aspek legalitas lahan dan kelembagaan petani masih menjadi faktor penghambat proses sertifikasi minyak sawit berkelanjutan tersebut di Indonesia. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia melalui Permentan Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pembinaan Kelembagaan Petani menuntut petani untuk memiliki kelembagaan berbadan hukum baik dalam bentuk kelompok tani (poktan), gabungan kelompok tani (gapoktan), asosiasi komoditas pertanian, maupun dewan komoditas pertanian nasional.

Hal ini dimaksudkan agar petani swadaya memiliki bargaining position yang kuat saat menjual hasil panen sawit ke PKS (pabrik kelapa sawit) dan bukan ke pedagang pengepul/tengkulak. Petani yang telah memiliki sertifikat RSPO didorong untuk menerapkan praktik budidaya yang baik (good agricultural practices/GAP) sehingga berimplikasi pada peningkatan produksi dan kesempatan untuk memperoleh harga TBS (tandan buah segar) yang lebih baik.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: