Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mengelola Sumber Daya Laut: Antara Potensi Ekonomi dan Konflik Kepentingan

Oleh: Dwi Mukti Wibowo, Pemerhati masalah ekonomi, sosial, dan kemanusiaan

Mengelola Sumber Daya Laut: Antara Potensi Ekonomi dan Konflik Kepentingan Kredit Foto: Antara/Rahmad
Warta Ekonomi, Jakarta -

Krisis penjarahan sumber daya kelautan dan perikanan di kepulauan Natuna menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Kita tidak boleh lengah dan membiarkan negara manapun menguras kekayaan alam yang notabene milik rakyat Indonesia.

Kita harus berani bertindak seperti kata pepatah sadumuk bathuk sanyari bumi ditohing pati wutahing ludiro. Ungkapan dari bahasa Jawa ini merupakan bentuk reaksi kemarahan terhadap suatu tindakan yang dianggap telah menghina dan menginjak harga diri manusia. Istilah sadumuk berasal dari kata dumuk yang artinya sentuh (Prawiroatmodjo, 1985:47).

Baca Juga: Jaga Kedaulatan di Natuna, Pakar Bilang Ini yang Mesti Dilakukan Indonesia

Kata bathuk berarti dahi. Dengan demikian kalimat sadumuk bathuk dapat diartikan, satu sentuhan pada jari. Sementara itu kata sanyari berasal dari kata nyari yang artinya ukuran sepanjang jari yaitu ibu jari (jempol). Dengan demikian, istilah sanyari bumi artinya tanah selebar ibu jari.

Bathuk, dahi, kepala bagian manapun, bagi manusia adalah lambang kehormatan, maka jika ada manusia yang berani menyentuhnya dianggap sebagai penghinaan. Demikian juga sanyari bumi, tanah selebar jari merupakan sebuah hak milik/properti yang bukan hanya melambangkan kekayaan, namun juga kehormatan/harga diri.

Bagi kita, sadumuk bathuk, sanyari bumi, merupakan ungkapan yang menunjukkan bahwa ketika hak milik atas tanah direbut serta harga diri dan kehormatan terinjak bukanlah masalah yang remeh. Kita akan berjuang sekuat tenaga untuk membela dan merebut kembali hak milik dan harga diri, dengan ungkapan "dibela nganti pecahing dada wutahing ludira" yang artinya dibela hingga dada pecah dan darah tertumpah, bahkan jika perlu hingga "ditohi pati" (dipertaruhkan nyawa).

Ungkapan ini tidak hanya berlaku bagi tanah saja, tapi juga laut yang merupakan milik dan kedaulatan kita.

Langkah tegas Presiden Jokowi untuk "menghalau" kapal perang China dari Natuna adalah pengejawantahan dari falsafah bela negara di atas. Maka, tidak berlebihan jika kita memberikan apresiasi. Jangan pernah surut menjaga ibu pertiwi, dari siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Apalagi menyangkut kekayaan alamnya yang jelas-jelas untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.

Undang Undang Dasar 1945 bahkan mengamanatkan jika seluruh kekayaan alam didarat, di udara, dan di laut harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Kita harus berjanji sampai kapanpun, sudah cukup untuk yang terakhir kehilangan Pulau Sipadan Ligitan yang kini telah dikuasai dan dimiliki oleh negara tetangga selamanya. Jangan lagi lengah apalagi lalai dalam menjaga Natuna yang merupakan kedaulatan wilayah NKRI yang banyak potensi dan manfaatnya.

Manfaat dari sisi ekonomi khususnya, kekayaan biota laut di Natuna dapat meningkatkan taraf hidup para nelayan sehingga tak lagi menyandang sebutan "kaum marginal". Sementaran, hasil ekspor ikan dan hasil laut lainnya dapat meningkatkan dan menambah devisa negara untuk mengurangi defisit neraca perdagangan yang menjadi beban negara kita selama ini.

Baca Juga: Tegas! Bule Inggris Eks Napi Narkoba Diusir dari Bali

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: