Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Gunakan Visa Bisnis untuk Meliput, Bebaskan Wartawan atau Deportasi?

Gunakan Visa Bisnis untuk Meliput, Bebaskan Wartawan atau Deportasi? Kredit Foto: Antara/Destyan Sujarwoko
Warta Ekonomi, Jakarta -

Penangkapan dan penahanan Philip Jacobson, editor Mongabay asal Amerika oleh Kantor Imigrasi Palangkaraya mengundang reaksi dari banyak pihak. Ada yang meminta Jacobson segera dibebaskan dan ada juga yang meminta agar dia dideportasi. 

Permintaan pembebasan seperti disampaikan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang mendesak pihak terkait segera membebaskan Philip Jacobson dari tahanan. Organisasi tersebut menilai, penangkapan jurnalis Mongabay itu merupakan ancaman terhadap kebebasan pers, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia. 

Baca Juga: Jurnalis Berkewarganegaraan AS Ditangkap di Palangkaraya

Sementara, pernyataan deportasi diungkapkan oleh pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana. Menurut profesor ini, kantor imigrasi punya peran penting untuk melakukan berbagai langkah dan kebijakan strategis sebagai upaya untuk mencegah berbagai bentuk pelanggaran peraturan oleh orang asing di Indonesia. 

"Karena itu, kantor imigrasi mewajibkan setiap orang asing yang berada di wilayah hukum Indonesia wajib memiliki izin tinggal dan izin itu diberikan sesuai dengan izin dan masa berlaku visa yang dimilikinya," kata Hikmahanto.

Menurut Hikmahanto, tidak ada batas waktu penahanan bagi pelanggaran izin tinggal di Indonesia, bisa lama dan bisa sebentar. Semua tergantung dari tujuan  pihak yang menyalahkan gunakan izin tinggal.

Pernyataan senada dikemukakan anggota DPR Firman Subagyo. Menurut Firman, berdasarkan UU keimigrasian, seseorang melakukan izin tinggal harus dideportasi dan dilarang masuk ke Indonesia (black list) karena tidak menghormati hukum di Indonesia.

Sementara itu, kalau masuk ada unsur pidana lain, kepolisian bisa memproses pelanggaran hukum terkait dengan bukti-bukti pelanggaran. Kalau ada unsur seperti datang dengan visa bisnis, tetapi melakukan operasi intelejen, masalahnya menjadi lain.

"Namun, hal ini perlu pembuktian dan jika terbukti bisa dikenai pasal berlapis sesuai dengan pelanggarannya," kata Firman Subagyo.

Penahanan Jacobson, menurut Kepala Seksi Penindakan Imigrasi Kelas I Palangkaraya Sukran, karena penyalahgunaan visa yang dilakukan dilakukan Jacobson, yaitu melakukan peliputan dengan menggunakan visa bisnis.

"Selama ini sudah ada peringatan dalam visa tidak boleh bekerja malah melakukan peliputan selama di Palangkaraya. Tindakan Jacobson melanggar pasal 122 Undang-Undang nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian," kata Sukran.

Terkait yang dilakukan Jacobson, Ketua LBH Palangka Raya, Aryo Nugroho Waluyo, menceritakan, pada 16 Desember 2019, Jacobson bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Palangkaraya, kelompok advokasi hak adat di Indonesia, bertemu dengan perwakilan DPRD Kalimantan Tengah. Masyarakat adat ingin audiensi dengan parlemen terkait kriminalisasi terhadap peladang.

Keesokan harinya, Imigrasi mendatangi tempat Jacobson menginap. Mereka pun menahan paspor dan visa pria 30 tahun itu. "Waktu itu, Jacobson meminta masalah ini tak usah ditulis agar cepat selesai, tapi ternyata masih berlanjut," kata Aryo.

Pada 21 Januari 2020, Philip Jacobson secara resmi dijadikan tersangka dan dibawa dalam penahanan di Rutan Kelas 2 Palangka Raya. Dia dituding telah melakukan pelanggaran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.

Sementara itu, pendiri dan CEO Mongabay, Rhett A. Butler mengatakan terus mendukung Jacobson dalam perkara tersebut. "Saya terkejut bahwa petugas imigrasi telah mengambil tindakan hukuman terhadap Philip atas masalah administrasi. Kami akan melakukan segala upaya untuk mematuhi otoritas imigrasi Indonesia," kata Butler seperti dikutip dari siaran pers Mongabay pada Rabu (22/1/2020). 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: