Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Akankah Wuhan Seperti Chernobyl?

Akankah Wuhan Seperti Chernobyl? Kredit Foto: Reuters/CNS Photo
Warta Ekonomi, Jakarta -

Wabah virus corona (Coronavirus/nCov) membuat Wuhan di Provinsi Hubei, China, menjadi kota zombie (zombieland). Hal ini karena pemerintah pusat menutup semua akses keluar dan masuk untuk meminimalisir jatuhnya korban lebih banyak di luar Wuhan. Akankah Wuhan seperti Chernobyl di Ukraina yang menjadi kota zombie hingga kini?

Akibat kebijakan isolasi atau lock down sejak 23 Januari lalu, para wisatawan asing maupun warga negara asing yang sedang berada di Wuhan terjebak. Kota Wuhan memiliki penduduk 11 juta jiwa dan salah satu kota paling ramai di China.

Baca Juga: Dapat Transferan Biaya, WNI di Wuhan Tak Yakin Bisa Belanja Logistik

Data terbaru yang dipublikasi Komite Kesehatan Nasional China (NHC) menyebut, jumlah kasus akibat wabah virus corona mencapai 4.515 kasus dengan 106 orang meninggal dunia. Ini baru di China.

Aktivitas kota Wuhan menjadi hening lantaran pemerintah kota melarang masyarakat beraktivitas di luar ruangan sebagai upaya untuk mencegah penularan infeksi virus corona yang lebih besar. Berdasarkan data yang dirangkum, Rabu (29/1/2020), beberapa pemandangan menakutkan yang memperlihatkan hanya ada beberapa orang yang berkeliaran di jalan-jalan yang kosong di Wuhan.

Dilansir Daily Star, sekolah telah ditinggalkan, pusat perbelanjaan nampak kosong, dan hanya ada satu toko kelontong kecil yang tetap buka. Kantor pos di kota tersebut juga memasang pengumuman, ditutup sampai bulan depan.

Sementara itu, mengutip The Sun, penduduk di kota itu diperintahkan untuk menghindari kerumunan orang dan tidak menghadiri pertemuan publik. Bahkan, seorang pria terlihat berbaring tidak sadar, tergeletak di jalan. Sementara, petugas medis mengenakan jas khusus dan masker gas berusaha untuk membantunya.

Menurut laporan, korban mengenakan masker sedang mengantre untuk mengurus dokumen. Ia langsung kehilangan kesadaran dan pingsan. Gejala virus corona jenis baru ini meliputi demam, batuh, hidung berair, dan kesulitan bernapas.

Virus corona diduga berasal dari pasar makanan laut di Wuhan yang secara ilegal menjual hewan hidup, termasuk kelelawar dan marmut yang diduga pembawa virus mirip SARS yang menyebabkan gejala pernapasan parah. Namun sayang, pemerintah China masih enggan membuka diri asal usul virus mematikan ini.

Bicara Chernobyl, tentu teringat dengan bencana ledakan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di kota Pripyat pada 26 April 1986. Hal ini menyebabkan 134 orang mengalami radiasi yang berbahaya dan menderita sindrom radiasi akut.

Bukan kapal induk

Kala itu, para ahli memperkirakan 40 ribu kematian terjadi akibat kanker gara-gara terkena radiasi nuklir. Pemerintah Uni Soviet, karena saat itu Ukraina masih bergabung, enggan mengakui terjadi bencana besar. Meski tak lama kemudian mereka pun membuka diri.

Sejak 1986 hingga sekarang, Chernobyl menjadi kota zombie lantaran tidak ada penduduk yang mau hidup di sana. Melansir Insider, pemerintah China diminta berkaca dari tragedi Chernobyl, di mana Uni Soviet, awalnya, menyembunyikan informasi tentang bahaya kebocoran radiasi nuklir.

Ditambah lagi pernyataan Wali Kota Wuhan Zhou Xianwang yang mengakui bahwa informasi tentang coronavirus tidak dirilis dengan cukup cepat. Warga Wuhan menuduh pemerintah tidak memberi peringatan dini tentang potensi buruk dari wabah coronavirus. Mereka bahkan menyebut virus corona sebagai 'Wabah Chernobyl 2020'.

Adapun warga lainnya berharap para pejabat China melindungi penduduknya dari wabah dengan cara membuka arus informasi yang seluas-luasnya, bukan cuma memikirkan kemajuan teknologi. "Apa yang bisa melindungi kita? Bukan kapal induk, bukan mendarat di sisi gelap Bulan. Tapi kami butuh kebebasan informasi," ungkapnya.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: