Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

India Menarik Diri, CIPS Sarankan Indonesia Tetap Tanda Tangani RCEP

India Menarik Diri, CIPS Sarankan Indonesia Tetap Tanda Tangani RCEP Kredit Foto: Antara/Antara
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kemitraan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) memiliki peran penting dalam meningkatkan neraca perdagangan Indonesia. Walaupun tanpa kehadiran India, yang menarik diri dari kemitraan perdagangan ini tahun lalu, RCEP diharapkan bisa meningkatkan efisiensi dan efektivitas perdagangan di antara 15 anggota yang terkonfirmasi untuk ikut serta. Salah satu tujuan penting kemitraan ini adalah untuk menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif secara bertahap dalam blok perdagangan jangka panjang.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Ira Aprilianti, mengatakan bahwa inisiatif kemitraan yang dimulai sejak 2012 oleh ASEAN ini bertujuan untuk mengintegrasikan ASEAN +6, yang terdiri dari sepuluh negara anggota ASEAN (Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam) dan enam mitra perdagangan terbesar ASEAN (China, Korea, Jepang, India, Australia, dan Selandia Baru). Semangatnya adalah untuk meningkatkan hubungan ekonomi yang saling menguntungkan serta untuk meminimalkan kesenjangan pembangunan di antara negara anggota.

Baca Juga: Pengguna E-Commerce Indonesia Terbesar di Dunia, CIPS: Sayangnya, Perlindungan Konsumennya Minim

Negosiasi RCEP mencakup perdagangan barang dan jasa, investasi, kerja sama ekonomi dan teknis, kekayaan intelektual, persaingan, penyelesaian sengketa, e-commerce, usaha kecil dan menengah (UKM), serta masalah lainnya. Asian Development Bank memproyeksikan bahwa RCEP akan membawa manfaat pendapatan global sekitar US$ 260 miliar.

"India menarik keanggotaan mereka dalam RCEP karena mereka khawatir bahwa hal itu akan merugikan produsen dalam negeri mereka. Mereka mengkhawatirkan potensi lonjakan impor China meskipun ada konsesi yang signifikan dan tawaran tindakan perlindungan dari China. Namun bagi Indonesia, RCEP tetap penting dan berpeluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi," jelas Ira dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (12/2/2020).

Ada beberapa hal yang menyebabkan RCEP merupakan kemitraan yang sangat penting untuk Indonesia, menurut Ira. Alasan pertama adalah skala kesepakatan itu sendiri. Mempertimbangkan populasi dan PDB-nya, RCEP akan menjadi blok perdagangan terbesar di dunia atau hampir dua kali lebih besar dari Comprehensive and Progressive Agreement for the Trans-Pacific Partnership (CPTPP) yang negosiasinya juga tengah mandek.

ASEAN melaporkan bahwa pada tahun 2018, ekonomi kawasan RCEP tumbuh sebesar 5,6% yang meliputi 47,4% seluruh populasi global, 32,2% ekonomi global, 29,1% perdagangan global, dan 32,5% aliran investasi global. Dengan dan tanpa India, lanjut Ira, RCEP masih merupakan blok perdagangan terbesar di dunia berdasarkan bobot ekonomi dan populasi.

Seperti dilansir oleh Kaewkamol Pitakdumrongkit dari RSIS, tanpa India, pasar gabungan akan mencakup 2,2 miliar orang dan akan berkontribusi pada 29% PDB dunia. Lebih jauh, Blake Berger melaporkan bahwa dengan India dalam perjanjian tersebut, RCEP diperkirakan akan menghasilkan peningkatan PDB riil sekitar US$ 171 miliar untuk blok dan tanpa India, peningkatan sekitar US$ 137 miliar. Oleh karena itu, kesepakatan itu masih relevan untuk Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN.

Kedua, Indonesia memiliki hubungan perdagangan yang sangat dekat dengan negara-negara peserta. Indonesia akan mendapatkan manfaat RCEP lima tahun setelah ratifikasi. RCEP diharapkan akan meningkatkan 8-11% dari ekspor dan 18-22% dari investasi. Oleh karena itu, RCEP sangat penting untuk mendorong perdagangan Indonesia tumbuh lebih stabil.

"Selanjutnya, RCEP harus dianggap sebagai langkah yang konsisten bagi Indonesia dan ASEAN untuk memperkuat perdagangan regional. Ini akan menjadi upaya lebih lanjut dari pengurangan tariff AFTA dan ASEAN Plus, untuk diperluas pada upaya menuju kesepakatan yang lebih dalam yang mencakup langkah-langkah non-tariff. Lebih jauh, kesepakatan itu tidak hanya akan mengurangi hambatan, tetapi juga menyediakan akses pasar yang lebih besar, meningkatkan jaringan produksi transnasional, dan dengan demikian memungkinkan konsumen menikmati berbagai barang yang lebih luas," jelas Ira.

Pasar global telah berkembang pesat sejak 1960-an, terutama di negara-negara berkembang. Data WTO menunjukkan bahwa pangsa ekonomi dunia dari ekspor dunia meningkat dua kali lipat dari sekitar 20% pada tahun 1960 menjadi lebih dari 40% pada tahun 2015. Peningkatan perdagangan telah berkontribusi pada pertumbuhan output yang belum pernah terjadi sebelumnya, serta perdagangan sebagai bagian dari PDB.

Untuk memacu lebih banyak pertumbuhan dalam perdagangan, WTO didirikan pada tahun 1994 untuk mengonsolidasikan aturan dan sistem perdagangan global berdasarkan prinsip non-diskriminasi di antara mitra dagang. Atas dasar itu, WTO telah berkontribusi untuk mereformasi kebijakan perdagangan para anggotanya dan untuk mematuhi negosiasi perdagangan multilateral, serta untuk melakukan reformasi ekonomi struktural.

Baca Juga: Kader Gerindra Gantikan AWK Sebagai Anggota DPD RI, De Gadjah: Efektif Kawal Kebijakan dan Pembangunan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: