Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sawit Indonesia: Apa Salahku Uni Eropa?

Sawit Indonesia: Apa Salahku Uni Eropa? Kredit Foto: Kementan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sebagai "raja" minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dunia, perdagangan minyak sawit Indonesia-UE telah dimulai sejak abad ke-18 didasarkan adanya kebutuhan masyarakat UE akan CPO sebagai minyak nabati yang dapat dimanfaatkan menjadi berbagai macam produk olahan serta memiliki harga yang relatif lebih murah dibandingkan minyak nabati lainnya.

Namun, seiring meningkatnya konsumsi UE terhadap CPO asal Indonesia dan secara langsung menurunkan konsumsi minyak nabati domestik, muncul berbagai permasalahan terkait supply dan demand minyak kelapa sawit, baik bersifat internal maupun eksternal.

Baca Juga: Sustainable dengan Integrasi Sawit-Sapi, Emang Bisa?

Komisi Uni Eropa telah mengancam keberlangsungan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia ke Eropa melalui regulasi Renewable Energy Directive (RED II) yang dikeluarkan pada 2018 lalu. Dalam regulasi tersebut tercantum kewajiban bahwa negara-negara UE harus menggunakan RED II paling sedikit 32% dari total konsumsi energi negaranya. Tidak hanya itu, dalam kebijakan tersebut juga terdapat aturan yang mengesampingkan bahkan mengeluarkan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku produksi biofuel. 

Sebelumnya, murahnya harga CPO bahkan sempat membuat UE menuding Indonesia telah melakukan praktik subsidi pada sektor perkebunan kelapa sawit Indonesia. Dalam gugatan yang dilayangkan ke WTO oleh UE, Indonesia tidak terbukti melakukan subsidi yang dituduhkan tersebut.

Terkait dugaan subsidi, UE menerapkan Bea Masuk Imbalan Sementara (BMIS) terhadap biodiesel Indonesia dengan besaran tarif berkisar 8–18%. Tidak hanya RED II, UE juga mengeluarkan Delegated Act yang merupakan turunan dari RED II dan menempatkan kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi) dan berpotensi mendorong perubahan penggunaan lahan tidak langsung (indirect land use change/ILUC) dibandingkan minyak nabati lainnya. ILUC adalah meningkatnya penggunaan/alih fungsi lahan di hutan, lahan gambut, serta lahan-lahan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.

Bagi Indonesia, implementasi regulasi ini mengakibatkan terjadinya penurunan ekspor CPO ke UE mencapai 4,2% atau dari 4,8 juta ton pada 2018 menjadi 4,6 juta ton di 2019 lalu. Meskipun UE bukan merupakan negara utama tujuan ekspor CPO Indonesia, seringkali UE dijadikan sebagai role model dan rujukan pengambilan keputusan bagi negara-negara lain sehingga dikhawatirkan akan memengaruhi negara lain untuk mengikuti jejak UE.

Menyikapi kebijakan RED II oleh UE tersebut, pemerintah Indonesia terus mengupayakan berbagai solusi, di antaranya, pertama, perbaikan tata kelola dan pengembangan sektor hilirisasi sawit, yang mana saat ini Indonesia baru mampu mengembangkan 40 produk turunan dari CPO, sedangkan Malaysia telah berhasil mengembangkan 100 jenis produk turunan CPO. 

Kedua, pemerintah Indonesia terus memperluas cakupan pasar ekspor sawit selain Eropa yaitu Asia dan Afrika. Ketiga, berkaitan dengan aspek lingkungan, pemerintah Indonesia sedang mengupayakan peremajaan (replanting) lahan sawit rakyat sebanyak 2,49 juta ha dan memberlakukan moratorium yang tercantum Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit.

Keempat, penerapan program biodiesel B20, B30, hingga B100 sebagai bahan bakar minyak nabati yang akan dapat menyerap hasil kebun sawit lebih banyak.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: