Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Usul Asal 'Orang Kaya Nikahi Orang Miskin', Muhadjir Effendi Sebut Itu Hanya Intermezo

Usul Asal 'Orang Kaya Nikahi Orang Miskin', Muhadjir Effendi Sebut Itu Hanya Intermezo Kredit Foto: Forum Merdeka Barat (FMB) 9
Warta Ekonomi, Jakarta -

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi punya strategi baru bagi negara untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia. Dia mengusulkan agar orang kaya menikah dengan orang miskin atau sebaliknya.

Orang kaya yang menikah dengan sesama orang kaya dan orang miskin yang kawin dengan orang miskin, menurut Muhadjir, hanya melanggengkan kesenjangan sosial-ekonomi: kelas menengah-atas bertambah banyak, sementara masyarakat menengah ke bawah akan bertambah lebih banyak lagi. Masalahnya terletak di masyarakat miskin karena, menurut perhitungannya, pernikahan sesama orang miskin sama dengan memunculkan sedikitnya 250 ribu orang miskin baru setiap tahun.

Baca Juga: 'Orang Kaya Nikahi Orang Miskin', Muhadjir: Ini Bikin Mata Rantai Kemiskinan Putus

Keluarga miskin juga berpotensi buruk karena akan melahirkan anak-anak kurang gizi dan tumbuh tidak sehat. Kemiskinan, katanya, adalah sumber penyakit, salah satunya stunting atau kerdil. Anak-anak yang tidak sehat akan melahirkan generasi yang tidak sehat pula sehingga memicu kemiskinan baru. "... dan ini membuat mata rantai kemiskinan tidak dapat diputus."

Perlu Fatwa

Diakui atau tidak, dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, ajaran Islam yang menganjurkan laki-laki atau perempuan mencari jodoh dengan yang setara, se-kufu atau kafa'ah, memicu pernikahan dengan kelas sosial yang sama: miskin dengan miskin; kaya dengan kaya.

Sesungguhnya ajaran itu multitafsir. Sebagian menafsirkannya setara secara kelas sosial maupun ekonomi, sebagian yang lain setara secara martabat. Tetapi, sebagaimana Muhadjir yakini, masyarakat Indonesia lebih banyak yang menafsirkannya setara secara kelas sosial maupun ekonomi. Maka, ketika tradisi sesama orang miskin menikah menjadi mapan, rantai kemiskinan itu sulit diputus.

Berdasarkan catatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, masyarakat Indonesia yang berumah tangga mencapai 57.116.000 jiwa. Hampir 10 persen di antaranya, 9,4 persen atau sekitar 5 juta, adalah keluarga miskin.

Angka itu hanya mencakup mereka yang dipastikan benar-benar miskin. Ada juga masyarakat yang status sosial-ekonominya hampir miskin, seperti kelas di tengah antara kelas menengah dengan bawah, yang mencapai 16,8 persen atau sekitar 15 juta. Ada 2,5 juta perkawinan di Indonesia per tahun dan 10 persen di antaranya, menurut Muhadjir, adalah calon keluarga miskin.

Dalam pandangan sang Menteri, untuk memutus rantai tradisi turun-temurun itu, yang diakibatkan bias penafsiran atas satu ajaran agama, diperlukan fatwa tertentu. Karena itulah, dia mengusulkan fatwa agar orang kaya menikah dengan miskin, atau sebaliknya, demi memperbaiki strata sosial-ekonomi.

Meski demikian, fatwa itu mestinya tidak mengikat atau berkonsekuensi hukum, melainkan sekadar gerakan moral bersama. Lebih pasnya, anjuran agar diikuti oleh banyak orang sehingga menjadi gerakan umum. Kalau tidak begitu, rantai kemiskinan itu tidak akan pernah terurai. Kira-kira begitulah penalarannya.

Sayangnya, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu tak punya tolok ukur keberhasilan atas solusi yang dia tawarkan; tidak disebut bahwa jika fatwa itu diterbitkan, tingkat kemiskinan diperkirakan menurun berapa persen. Dia malah berdalih, "Itu 'kan intermezo." Jadi seolah usulan yang asal sebut saja.

Urusan Pribadi

Dewan Perwakilan Rakyat menganggap Muhadjir tak sepatutnya menyampaikan hal semacam itu kepada publik. Apalagi kemudian itu diklarifikasi sebagai hanya intermezo alias selingan.

Namun, sebagaimana diungkapkan Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily, sang Menteri tetap harus diingatkan bahwa memilih jodoh adalah urusan pribadi, tak perlu campur tangan negara. "Ajaran Islam tentang perjodohan se-kufu," katanya, "juga tak harus dimaknai sebagai kesalahan penafsiran." Andai ada orang yang menafsirkannya begitu pun tak perlu dipersoalkan.

Memang, dia mengakui, kemiskinan masih menjadi masalah besar bangsa Indonesia. Akan tetapi, solusinya bukan dengan mengatur-atur urusan perjodohan warga negaranya. "Lebih baik pemerintah mencari cara dan strategi yang tepat agar bagaimana kita dapat menanggulangi kemiskanan, mengatasi ketimpangan ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan menyejahterakan rakyat."

Solusi penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya demi mengatasi ketimpangan ekonomi akan lebih dapat diukur tingkat keberhasilannya. Berbeda dengan anjuran-anjuran seperti yang menteri wacanakan yang Ace duga, "tidak dibangun atas dasar argumentasi yang jelas, terukur, dan memiliki alasan untuk mencapai suatu target."

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: