Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Save Our Sea: Menunggu Kiprah Kaum Muda Bangkitkan Millennial Tourism

Oleh: Dwi Mukti Wibowo, Pemerhati masalah ekonomi, sosial, dan kemanusiaan

Save Our Sea: Menunggu Kiprah Kaum Muda Bangkitkan Millennial Tourism Kredit Foto: Antara/Hendra Nurdiyansyah

Milenial dan Traveling

Pelaku bisnis pariwisata Indonesia perlu segera mengantisipasi perubahan model bisnis pariwisata di era digital atau millennial tourism. Pasar dunia akan segera didominasi kelompok wisatawan generasi milenial yang rata-rata berusia muda antara 18 tahun hingga 34 tahun atau lebih dikenal dengan generasi Y. Informasi ini merupakan angin segar di tengah upaya menggugah peran serta kaum milenial untuk berpartispasi dalam pelestarian alam termasuk upaya penyelamatan laut kita (save our sea).

Sebagian dari mereka adalah millennial travellers yang memiliki hobi berpetualang atau traveling. Sebagian memang lebih suka menggunakan jasa perjalanan wisata berbasis aplikasi, sebagiannya lagi masih konvensional. Untuk itu, pelaku bisnis pariwisata Indonesia perlu mengantisipasi perubahan ini. Dan ini menjadi tantangan sekaligus peluang dari misi Save Our Sea untuk mengeksplor dan mengembangkan objek wisata yang berbasis edukasi publik, pelestarian alam/lingkungan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Baca Juga: Sasar Milenial, Bank Mandiri dan Traveloka Luncurkan Traveloka Mandiri Card

Bagi kaum milenial, traveling kini bukan lagi sekadar kegiatan untuk melepas rasa penat. Kegiatan ini sudah menjadi sebuah kebutuhan utama untuk mendapatkan ide-ide kreatif yang bisa diaplikasikan pada rutinitas sehari-hari. Buktinya, tren traveling di kalangan milenial selalu meningkat setiap tahun, terutama bagi mereka yang berusia 18-35 tahun.

Di samping itu, kekayaan alam dan budaya Indonesia merupakan alasan utama terjadinya peningkatan aktivitas wisata di negeri Indonesia bahkan menjadi salah satu negara yang terkena fenomena leisure economy.

Meskipun disadari pula, dampak virus corona yang sudah merebak di segala penjuru dunia telah menahan laju peningkatan angka wisatawan (terutama wisatawan asing) di Indonesia. Namun harus diyakini jika virus corona ini suatu saat pastilah diketemukan penawarnya. Fenomena ini hanyalah sementara. Justru ke depan, masa depan wisata kaum milenial ini akan lebih booming seiring dengan kemajuan teknologi informasi.

Menteri Pariwisata Arief Yahya periode 2014-2019 pernah menekankan pentingnya peran anak muda dalam mengembangkan sektor pariwisata. Apalagi dengan telah dikembangkannya program strategis pariwisata yang melibatkan anak muda yaitu, destinasi digital dan nomadic tourism. Perlu diketahui, destinasi digital adalah destinasi populer di dunia maya, viral di media sosial, dan hits di Instagram. Destinasi ini menyasar para wisatawan muda yang kerap memburu objek-objek wisata Instagrammable.

Sementara nomadic tourism merupakan solusi dalam mengatasi keterbatasan unsur 3 A (atraksi, amenitas, dan aksesibiltias), khususnya untuk sarana amenitas atau akomodasi yang sifatnya dapat berpindah-pindah seperti glamp camp, home pad, dan caravan. Berkat antusiasme generasi milenial yang terus meningkat setiap tahun, Kemenpar akan membangun 100 pasar digital di 35 provinsi dan 10 nomadic tourism di destinasi unggulan.

Di sinilah dibutuhkan partisipasi anak muda untuk menyukseskan kedua program tersebut karena generasi muda Indonesia itu memiliki ide-ide kreatif dan semangat yang kuat. Arief Yahya pernah mengatakan jika pariwisata merupakan bisnis yang paling menguntungkan, mudah, dan murah. Oleh karena itu, para anak muda harus banyak belajar dan jangan lupa berkontribusi di sektor pariwisata.

Efek Millennial Tourism

Berwisata kini menjadi tren bagi semua kalangan tak terkecuali generasi milenial. Generasi milenial kini memulai berwisata dengan ramah lingkungan. Contoh nyata yang bisa dilakukan seperti tak membawa bahan makanan yang berlebih dan yang berpotensi menghasilkan sampah.

Selain itu, generasi milenial tak mengambil sumber daya alam apa pun bentuknya di area konservasi, termasuk tidak melakukan vandalisme seperti corat-coret di objek tertentu saat berada di dalam area wisata berbasis konservasi. Generasi milenial kini memahami daya dukung (caring capacity) di area wisata berbasis konservasi.

Generasi milenial kerap dianggap sebagai generasi instan yang bergantung dengan teknologi. Situasi itu menjadikan mereka sebagai individu acuh tak acuh di tengah kondisi zaman yang kian individualis. Soal lingkungan, banyak orang pesimis milenial dapat mencurahkan perhatian mereka terhadap kondisi lingkungan dan alam sekitar yang kian tercemar dan rusak. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, malah sebaliknya.

Serupa dengan pandangan Imam B. Prasodjo, Ph.D, yang memiliki pandangan lain terhadap generasi milenial. Ia mengatakan kita harus optimis karena justru generasi milenialah yang akan menjadi generasi perbaikan lingkungan. Melalui teknologi, dengan gadget, mereka akan mencari informasi, berbagi, berdiskusi, dan merencanakan aksi untuk memperbaiki lingkungan.

Sejauh ini banyak langkah dan aksi yang dilakukan generasi milenial untuk melestarikan lingkungan, mulai dari mengurangi pemakaian plastik sekali pakai, mengadakan kampanye tentang alam dan lingkungan, hingga turut serta menyampaikan pendapat.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: