Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar Kritik Keras Penggunaan Rapid Test, Bongkar Bahayanya

Pakar Kritik Keras Penggunaan Rapid Test, Bongkar Bahayanya Kredit Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sejak dimulai Jumat (20/3/2020) lalu, pro dan kontra tes cepat dengan menggunakan metode pemeriksaan darah untuk melakukan penapisan kasus-kasus Covid-19 di Indonesia, terus berlanjut. Para ahli menganggap langkah tersebut tidak efektif dalam membatasi penyebaran virus corona.

Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus vorona, Achmad Yurianto, menjelaskan bahwa memang tes ini dilaksanakan berbasis penelusuran kontak pasien dan tidak diarahkan untuk menegakkan diagnosis.

Ia mengatakan tes ini bertujuan mendeteksi antibodi dalam tubuh dan merupakan sebuah langkah awal.

Baca Juga: Corona di Indonesia: Jangankan Lockdown, Diam di Rumah Saja Sulit!

"Kita paham bahwa pembentukan antibodi itu butuh waktu, kurang lebih sampai dengan enam atau tujuh hari. Sehingga kalau infeksi itu belum enam-tujuh hari, dan kita lakukan pemeriksaan, hasilnya akan negatif," kata Yurianto dalam konferensi pers, Rabu (25/3/2020).

"Oleh karena itu, maka yang kita lakukan, manakala hasilnya negatif, meskipun tanpa keluhan, kita menyarankan untuk jaga jarak."

Bagaimana metode tes?

Jika orang yang hasil tesnya negatif, namun kemudian mengalami gejala, maka ia akan disarankan untuk karantina diri sebelumnya melakukan tes lagi setidaknya tujuh hari sejak tes sebelumnya.

"Manakala di dalam tesnya ditemukan positif, maka ini adalah guidance, tuntunan bagi kita untuk melakukan pemeriksaan antigen dengan menggunakan metode yang sudah kita ketahui yaitu real time PCR. Ini yang kemudian dipakai dasar di dalam kaitan dengan menegakkan diagnosa," kata Yurianto.

Ia menambahkan bahwa tidak semua pasien positif akan dirawat di rumah sakit dan dapat melaksanakan isolasi di rumah masing-masing.

"Apabila kemudian hasil positif dari PCR dan kemudian diyakini bahwa tidak bisa untuk melakukan isolasi diri di rumah, karena ada gejala panas, batuk, sesak, atau kita temukan faktor-faktor penyakit lain sebagai co-morbid, misalnya penderita hipertensi, diabet, kelainan jantung, gagal ginjal kronis, maka kelompok inilah yang harus dilakukan isolasi di rumah sakit," kata Yurianto.

Pasien yang memerlukan perawatan intensif akan dirujuk ke rumah sakit rujukan.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: