Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

PIR Sawit? Sejarahnya Gimana, Sih?

PIR Sawit? Sejarahnya Gimana, Sih? Kredit Foto: Antara/Aswaddy Hamid
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perkebunan sawit rakyat yang tumbuh berdampingan dengan korporasi (negara dan swasta) menjadi keunikan tersendiri dalam sejarah panjang perkembangan perkebunan sawit di Indonesia. Kondisi tersebut dapat terjadi sebagai bagian dari implementasi kebijakan kemitraan oleh pemerintah Indonesia yang melibatkan korporasi perkebunan dan rakyat sejak akhir tahun 1970-an.

Sebagai tonggak awal revolusi perkebunan sawit di Indonesia, setidaknya ada empat pola kemitraan sawit yang sudah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebijakan pemerintah yakni (1) pola kemitraan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang terdiri dari PIR khusus dan PIR lokal; (2) pola kemitraan PIR Transmigrasi; (3) pola kemitraan PIR Kredit Koperasi Primer untuk para anggotanya (PIR KKPA); dan (4) pola kemitraan PIR Revitalisasi Perkebunan (Revitbun).

Baca Juga: India-Malaysia Kembali Mesra, Sawit Indonesia: Tidak Apa-Apa!

Mengutip PASPI, konsep dasar pola kemitraan PIR yang disebut dengan fase inisiasi diadaptasi dari model sel biologis yang memiliki inti sel dan plasma sel. Dalam pola PIR, perkebunan negara (PTPN) dan perkebunan swasta bertindak sebagai inti, sedangkan rakyat atau pekebun sebagai plasma. Inti memiliki tugas dan tanggung jawab berupa membangun kebun-kebun calon plasma serta mempersiapkan, membina, dan membimbing calon plasma untuk memelihara, mengelola, dan menampung hasil kebun plasma dengan baik.

Implementasi konsep kemitraan inti-plasma pertama oleh pemerintah Indonesia yang dibiayai Bank Dunia melalui proyek Nucleus Estate and Small Holders (NES) I–VII tersebut akhirnya melahirkan PIR pada tahun 1978.

Pertama, pola PIR khusus dan lokal pada 12 provinsi di Indonesia tahun 1980 sebagai bentuk keyakinan pemerintah untuk melanjutkan dan memperluas PIR melalui pendanaan APBN. Melalui serangkaian pola kemitraan tersebut, berkembang sekitar 231.535 ha perkebunan kelapa sawit baru yang terdiri dari 67.754 ha inti dan 163.781 ha plasma. Pada pola ini, pengelolaan kebun lebih didominasi oleh pekebun itu sendiri, bukan inti.

Kedua, pola kemitraan PIR Transmigrasi yang merupakan kombinasi antara pola PIR dengan program transmigrasi (PIR-Trans) yang berlangsung pada tahun 1986. Kebijakan PIR-Trans ini dilaksanakan di 11 provinsi di Indonesia dan berhasil mengembangkan perkebunan sawit baru sekitar 566 ribu ha yang terdiri dari 70% kebun plasma dan 30% kebun inti.

Ketiga, pola kemitraan PIR KKPA yang merupakan wujud pengembangan PIR lokal dari segi pembiayaan dan kelembagaan yang dikaitkan dengan koperasi. PIR KKPA ini dibiayai dengan subsidi kredit koperasi melalui 74 Koperasi Unit Desa (KUD) yang terdapat di sekitar perkebunan kelapa sawit korporasi yang telah ada. Kemitraan KKPA berbanding terbalik dengan pola PIR lokal dan khusus, yang mana pada pola KKPA pengelolaan kebun plasma sebagian besar menjadi tanggung jawab inti.

Keempat, pola kemitraan PIR revitalisasi perkebunan merupakan bentuk keyakinan pemerintah atas membaiknya harga minyak sawit dunia sehingga apabila investasi perkebunan kelapa sawit dilakukan, akan sangat menguntungkan. Pada tahun 2006, melalui Permenkeu Nomor 117/PKM.06/2006 pemerintah memberikan fasilitas kredit (subsidi bunga kredit) terhadap pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan untuk rakyat.

Hal ini ikut mendorong investasi swasta dan petani secara mandiri untuk makin menekuni bisnis sawit (revitalisasi nonmitra). Namun, kebijakan pola kemitraan Revitbun ini berakhir pada tahun 2014 karena program tersebut dianggap kurang berhasil.

Mengutip PASPI, melalui kebijakan PIR dengan berbagai variasi pelaksanaannya, telah membawa perubahan revolusioner pada perkebunan sawit Indonesia. Luas perkebunan sawit rakyat meningkat dari 6 ribu ha pada tahun 1980 menjadi 5,81 juta ha pada tahun 2019. Tidak hanya itu, data World Bank menyebutkan bahwa pembangunan kebun sawit di pedesaan akan mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: