Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Wartawan Gejala Corona Meninggal Usai 'Ditolak' RS Rujukan

Wartawan Gejala Corona Meninggal Usai 'Ditolak' RS Rujukan Kredit Foto: Antara/Iggoy el Fitra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Seorang wartawan yang menunjukkan gejala Covid-19 meninggal dunia. Istrinya mengklaim mereka ditolak rumah sakit rujukan pemerintah yang telah menampung pasien lebih dari kapasitasnya.

Wartawan berinisial WD, kata istrinya, telah mengunjungi lima rumah sakit. WD, sebagaimana dipaparkan istrinya, ditolak dua rumah sakit rujukan pemerintah, yaitu Rumah Sakit Pemerintah Angkatan Darat Gatot Subroto dan Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso.

Baca Juga: Bertambah, 4 Orang Meninggal Dunia di Bogor Karena Corona

Setelah ditolak, WD diterima di RSUD Kabupaten Tangerang. Namun, sang istri mengklaim suaminya ditelantarkan sekitar lima setengah jam. Akhirnya, dia membawa suaminya ke RS Eka di Tangerang Selatan dan pria tersebut meninggal keesokan harinya.

Sang istri yang kini menjalani karantina di salah satu RS rujukan itu bercerita mengenai pengalaman yang disebutnya "ditolak dan ditelantarkan". Awalnya, katanya, ia dan suami merasa badan mereka lemas, flu, dan tenggorokan sedikit sakit. Lalu mereka mengunjungi klinik kesehatan dekat rumah.

Pada Jumat subuh, (20/3/2020), suaminya mengalami batuk terus-menerus. Paginya, sekitar pukul tujuh, ia dan suami menuju ke RS Sari Asih di Tangerang Selatan. Dokter melakukan pemeriksaan darah dan rontgen. Hasilnya menunjukkan gejala Covid-19 sehingga mereka disarankan ke rumah sakit rujukan pemerintah.

"Kenapa tidak bisa di sini (dirawat)? Tidak bisa karena tidak ada penanganan Covid yang harus di RS rujukan," kata perempuan berinisial DR tersebut.

"Lalu saya ke RSPAD dan saya bilang sudah diperiksa RS sebelumnya, saya kasih hasil labnya. Lalu mereka bilang tidak bisa karena sudah penuh. Lalu saya tanya ke mana? Dijawab, silakan cari rumah rujukan lain. Lalu saya berangkat ke RSPI Sulianti Saroso dan sama juga jawabannya. Itu sudah jam tiga sore."

"Karena KTP saya Tangerang, lalu saya membawa ke RSUD Kabupaten Tangerang. Suami saya masuk ruang isolasi dan cuma diperiksa suhu badan, disuruh duduk di kursi yang di tukang bakso dan bukan tidur. Lalu saya bolak-balik tanya dan dijawab 'dokter parunya belum bisa menjawab telepon ataupun WA'." 

Lima setengah jam berlangsung, kondisi suaminya terus batuk dan memburuk. Akhirnya, DR memutuskan mengeluarkan WD dari ruang isolasi dan membawanya ke RS Eka di Tangerang Selatan.

"Pasien sudah lemas dan sulit bernapas, tanpa diapa-apain lima jam, dikasih minum (obat) saja tidak. Saya masuk ruang isolasi dan sudah tidak peduli lagi lalu saya larikan ke RS Eka dan masuk UGD. Besoknya masih dikasih pertolongan pernapasan, tetapi tidak bisa lagi," katanya.

DR kini sedang menjalani perawatan di salah satu RS rujukan karena diduga juga terjangkit virus corona. Tenggorokannya terasa sedikit sakit, tetapi badannya tidak demam. Ia pun sangat sedih atas perlakuan yang dialami oleh suaminya. "Andaikan langsung ditangani, dikasih antibiotik atau segala macam, atau alat pernapasan, mungkin tidak akan seburuk ini," katanya.

Ia pun meminta pemerintah untuk lebih tegas dan jelas mengenai alur rujukan ke rumah sakit, apalagi bagi orang yang kondisi kesehatan buruk. "Mungkin sepenuh-penuhnya RS, apapun itu, ya pertolongan pertama musti diberikan. Saya sudah mohon-mohon kasih pertolongan pertama dulu, namun ditolak," katanya.

"Banyak orang seperti kami ditolak di beberapa kali rumah sakit rujukan padahal posisinya sedang terpapar virus dan hitungan menit pemburukannya. Bayangkan tidak bisa bernapas," katanya.

Mengapa RS rujukan menolak pasien?

Kejadian yang menimpa WD dilaporkan bukan yang pertama. Sebelumnya, diberitakan juga terdapat beberapa orang yang diduga terjangkit virus corona ditolak rumah sakit hingga akhirnya di antara mereka ada yang meninggal dunia.

Seorang pasien dalam pengawasan (PDP) di Purbalingga, Jawa Tengah, ditolak empat rumah sakit dengan alasan beragam. Akhirnya ia dirawat di puskesmas dan petugas medis menggunakan jas hujan dan kacamata dari mika untuk perlindungan diri akibat terbatasnya fasilitas. Lalu ada juga pasien di Jakarta yang meninggal di ambulans usai ditolak di tiga RS.

Dokter spesialis paru-paru yang bertugas di RS Persahabatan, salah satu RS rujukan pemerintah, Faisal Yunus, menyebut kondisi itu terjadi karena keterbatasan ruang isolasi, alat bantu pernapasan, alat pelindung diri (APD) dan jumlah tenaga medis.

"Itu semua karena pemerintah tidak menyangka, tidak siap dan menganggap tidak akan masuk corona. Setelah kejadian seperti ini baru semua pontang-panting. RS rujukan itu jumlah dan kapasitas daya tampungnya terbatas," kata Faisal.

"Di RS Persahabatan tempat saya bertugas, antrean masuk itu sekitar 800 orang yang terdaftar. Sementara daya tampungnya sekitar 40 orang di ruangan dan sekitar 20 di IGD. Tidak mungkin kita tampung semua. Tempat kita terbatas, tenaga medis juga terbatas, jadi tidak mungkin," katanya.

Faisal menegaskan, wabah Covid-19 tidak seperti penyakit lain yang bisa menjalani perawatan di ruang terbuka, seperti lorong rumah sakit, atau digabung dengan pasien lainnya.

"Dulu demam berdarah bisa kita taruh di lorong, gang, dan lain. Kita tidak menolak pasien karena demam berdarah kan tidak menular. Kalau ini Covid kan menular, tidak bisa sembarangan kita taruh tempat. Jadi itu masalahnya," kata guru besar kedokteran dari Universitas Indonesia itu.

Senada dengan itu, Ketua Purna PB Ikatan Dokter Indonesia, Oetama Marsis, menyebutkan hambatan yang dialami oleh RS rujukan adalah kekurangan APD dan jumlah pasien yang besar.

"Indonesia ( Kemkes) awalnya lambat dan tidak sigap dalam menghadapi pandemi Covid-19, walaupun saat ini Pemerintah sudah mulai berjalan di jalur penanganan yang benar, tetapi tampaknya belum siap untuk menghadapi ledakan Covid-19," kata Oetama.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: