Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Virus Corona Makin Beringas, THR Para Pekerja Terancam... Duh!

Virus Corona Makin Beringas, THR Para Pekerja Terancam... Duh! Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Wabah virus corona membuat ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaan atau diminta mengambil cuti tanpa upah. Para pengusaha kini juga mengajukan permohonan ke pemerintah untuk membayar tunjangan hari raya (THR) dengan cara mencicil akibat kondisi keuangan perusahaan yang terpuruk.

Serikat buruh menolak opsi cicilan karena THR adalah kewajiban pengusaha.

Pemerintah meminta pengusaha dan pekerja berdialog untuk mencari jalan keluar terkait mekanisme pembayaran THR. Pemerintah menegaskan bahwa pengusaha wajib untuk memberikan THR kepada pekerjanya karena sudah diamanatkan dalam peraturan.

Baca Juga: Ombak PHK Terjang Jatim: 1.923 Pekerja Di-PHK, 16.086 Dirumahkan

"Di dalam regulasi PP No 78 bahwa THR itu wajib. Jadi pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerjanya, dibayarkan tujuh hari sebelum hari raya keagamaan tiba," kata Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Haiyani Rumondang, Selasa (7/4/2020).

Haiyani melanjutkan, jika pengusaha telat membayarkan THR, maka akan dikenakan denda 5% dari total THR yang dibayarkan.

"Denda itu tidak menghilangkan kewajiban membayarkan THR. Jika pengusaha tidak bayar THR, maka akan diberikan sanksi administratif," kata Haiyani.

Pasal 7 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan menyebutkan bahwa tunjangan hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja atau buruh.

Apalagi, kata Haiyani, THR sudah direncanakan dan dialokasi oleh perusahaan sejak awal berdiri atau sejak akhir tahun mereka menutup keuangan.

"Beda dengan upah yang setiap bulan dan sangat terimbas dengan situasi seperti sekarang ini. Tapi tidak dipungkiri karena situasi Covid akan ada saja mungkin biaya-biaya tak terduga yang harus dikeluarkan. Makanya yang harus dikedepankan adalah dialog, kesepakatan antarkeduanya," kata Haiyani.

Pemerintah minta pengusaha dan pekerja berdialog

Apa yang dimaksud dengan dialog?

Menurut Haiyani, perusahaan dan pekerja melakukan diskusi untuk memutuskan bagaimana mekanisme pembayaran THR. "Untuk menyepakati apakah diberikan dahulu 75 persen, lalu 25 persen nanti atau bagaimana baiknya untuk dua pihak. Semua dibicarakan. Namun prinsipnya, THR itu wajib dibayar," katanya.

Lalu, bagaimana cara pengawasan agar pengusaha membayar THR? Kata Haiyani, ada pegawai teknis di daerah, yaitu pegawai pengawas ketenagakerjaan dan posko-posko THR yang akan memastikan kewajiban tersebut.

"Untuk tahun ini karena virus corona, kami menunggu arahan pimpinan (bagaimana pengawasannya). Yang jelas, kami akan berusaha memastikan THR dibayarkan pengusaha," ujarnya.

Di sisi lain, pemerintah juga tengah mempertimbangkan pemberian THR dan gaji ke-13 bagi PNS golongan IV dan pejabat negara.

Sedangkan untuk golongan I hingga III, pemerintah sudah mengalokasikan anggaran sehingga mereka akan menerima THR dan gaji ke-13.

Pengusaha ajukan keringanan pembayaran THR

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkapkan wabah virus corona berdampak luar biasa bagi kondisi keuangan perusahaan.

Direktur Eksekutif Apindo Agung Pambudi mengungkapkan, sektor yang paling berdampak adalah di bidang perhotelan dan restoran yang penjualannya turun drastis hingga 100 persen atau tidak beroperasi.

Begitu juga dengan sektor manufaktur yang mengurangi produksi hingga 50 persen. Bahkan, sektor otomotif pun berkurang hingga 30 persen, ujar Agung.

Untuk itu, Apindo mengajukan ke pemerintah untuk memberikan keringanan berupa penundaan kewajiban pembayaran perbankan, tagihan, iuran BPJS Ketenagakerjaan, dan juga kelonggaran pembayaran cicilan untuk THR.

"Sekarang Apindo (sudah) appeal ke pemerintah untuk meminta kelonggaran THR bagi perusahaan sesuai kemampuan keuangan perusahaan, supaya bisa dibayarkan dengan mencicil, sampai akhir tahun atau sampai kondisi membaik."

"Misalkan 50 persen atau 25 persen dulu baru nanti sampai akhir tahun terpenuhi 100 persen sesuai kondisi perusahan karena kalau tidak diberikan yang terjadi di lapangan, tidak akan pernah bisa compliance di saat kondisi saat ini. Daripada di bawah meja, sebaiknya ditegaskan oleh pemerintah tentang fleksibilitas itu," katanya.

Senada dengan itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Budijanto Ardiansjah mengatakan perusahan sektor pariwisata yang paling terpukul akibat virus corona.

"Hotel tutup, destinasi wisata tutup, travel agent tutup, guide tidak ada penghasilan, pegawai dirumahkan. Dampaknya luar biasa, semua tiarap," katanya.

Akibatnya, sulit bagi perusahan untuk membayarkan kewajiban perusahaan maupun pegawai, termasuk THR, apalagi situasi ini sudah berjalan menuju dua bulan.

"Kondisi perusahan tidak sama, ada yang besar dan kecil. Ada yang bisa bayar gaji dan THR pegawai, ada yang tidak bisa karena biaya operasionalnya diputar-putar. Ini menyebabkan turunnya penghasilan, jadi yang tadinya dana dicadangkan sebagai THR terpakai. Untuk itu harus ada keringanan bagi pengusaha," ujarnya.

Serikat buruh menolak THR dicicil

Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S Cahyono mengungkapkan bahwa buruh menolak tegas opsi pembayaran THR dengan cara dicicil.

"Serikat buruh meminta agar THR tetap diberikan 100 persen paling lambat H-7 sebelum Lebaran," kata Kahar.

Kahar melanjutkan, THR adalah rutinitas tahunan yang sudah disiapkan jauh-jauh hari oleh perusahaan. Apalagi, ujarnya, THR tinggal diberikan bulan depan dan pandemi virus corona baru terjadi satu bulan ke belakang ini sehingga sangat aneh jika perusahaan tidak memiliki dana THR.

"Jangan giliran butuh tenaga, buruh disuruh tetap bekerja. Tapi giliran bayar haknya, mereka tidak mau. Kami minta dibayar full," katanya.

Lanjutnya, pemerintah abai melihat dampak virus corona bagi kehidupan para buruh dan pekerja karena tidak ada kebijakan yang dikeluarkan untuk melindungi pekerja.

"Sekarang ini, pekerja itu mudah di-PHK, mudah dirumahkan tanpa upah dan sekarang THR dicicil lagi. Jadi, tidak ada urgensinya jika pengusaha minta THR dicicil," ujarnya.

Virus corona, dampaknya lebih parah dari Bom Bali

Seorang pekerja perhotelan di Bali, Made Ngare Arnawa kini dirumahkan sejak 1 April lalu dan tidak mendapatkan gaji dari perusahannya. Padahal, ia berstatus sebagai pegawai tetap.

Kondisi dirumahkan itu, kata Made, akan berlangsung hingga wabah virus corona berakhir karena di Bali kunjungan turis asing maupun domestik turun drastis hingga 99 persen.

Kini ia kembali berkebun untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. "Jadi, sekarang lebih irit-irit. Istilahnya, dulu makan ayam, sekarang jadi makan garam," kata Made.

Kondisi sekarang, kata Made, memiliki dampak terparah dalam beberapa dekade ke belakang. "Ini lebih buruk daripada Bom Bali, gunung meletus karena benar-benar tidak ada tamu," ujarnya.

Baca Juga: Wishnutama Siapkan Jurus Cegah PHK Massal Sektor Pariwisata

Ketua Asita Bali I Ketut Ardana mengatakan kini sudah tidak ada pariwisata di Bali karena tidak ada turis yang datang dan semua objek wisata di Bali ditutup.

"Ini adalah peristiwa atau bencana terparah buat pariwisata. Karena perjalanan pariwisata saya sendiri mengikutinya, tahun 1990 ada perang teluk, 1995 ada kasus kolera, 1998 krisis moneter, 2002 dan 2005 Bom Bali, lalu gempa Lombok, erupsi Gunung Agung, belum lagi SARS dan MERS. Itu semua sangat mengganggu pariwisata, tapi virus corona ini adalah yang terparah karena pariwisata terhenti," katanya.

Selain berdampak ke pengusaha dan pekerja, virus corona juga merenggut nyawa manusia. Di Indonesia berdasarkan data per 7 April 2020, tercatat ada 2.738 kasus di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 221 orang meninggal, 2.313 dirawat, dan 204 orang dinyatakan sembuh.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: