Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Korban 9/11 Gak Ada Apa-apanya Dibanding Jasad Pasien Virus Corona di New York, Kenapa?

Korban 9/11 Gak Ada Apa-apanya Dibanding Jasad Pasien Virus Corona di New York, Kenapa? Kredit Foto: Twitter/SquawkCNBC
Warta Ekonomi, Canberra, Australia -

Korban meninggal dunia akibat virus corona di Kota New York, Amerika Serikat telah melampaui jumlah korban tewas dalam serangan 11 September 2001. Kota ini telah menjadi pusat penyebaran COVID-19 di Amerika Serikat.

Kota New York catat jumlah kematian akibat virus corona sebanyak 3.485. Khusus di kota itu, jumlah kasus infeksi sudah mencapai 138.836 atau melebihi Italia.

Baca Juga: New York Rekam Sejarah Baru, 1.900 Pasien Positif Corona Tewas dalam Sehari

Hingga saat ini jumlah korban meninggal yang dicatat oleh Johns Hopkins University sudah mencapai 3.485 orang.

Serangan terhadap gedung World Trade Centre di New York tahun 2001 menewaskan 2.753 orang dan lebih 200 lainnya di luar New York.

Namun di saat Amerika Serikat sedang mengalami krisis akibat penyebaran COVID-19, Presiden Donald Trump justru mengecam Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Langkah pembatasan menampakkan hasil

Negara bagian New York mencatat 731 kematian akibat COVID-19 pada hari Selasa (7/4), sehingga jumlah kematian sudah hampir 5.500 di seluruh negara bagian tersebut.

"Di balik angka-angka ini, ada seorang individu. Ada keluarga, ibu, ayah, dan saudara. Jadi banyak rasa duka lagi hari ini untuk warga New York," ujar Gubernur New York Andrew Cuomo.

Namun dia menunjukkan langkah-langkah pembatasan sosial yang telah diberlakukan kini menampakkan hasilnya.

"Coba perhatikan kurva yang melandai. Hal itu terjadi karena apa yang kita lakukan. Jika kita tidak melakukannya, maka kurva [penyebaran COVID-19] akan jauh berbeda," katanya.

"Jadi tetaplah menjalankan social distancing," kata Gubernur Cuomo.

Presiden Trump salahkan WHO

 Sementara itu Trump dalam unggahan di akun Twitternya menyindir WHO yang dianggap lebih mengutamakan China.

Ia juga sesumbar bahwa pemerintahannya akan "tunjukkan kinerja yang bagus".

"WHO benar-benar telah gagal. Untuk beberapa alasan, sebagian besar dananya [WHO] berasal dari Amerika Serikat, namun justru sangat terpusat pada China. Kami akan tunjukkan kinerja yang bagus," tulisnya.

Trump juga telah menyingkirkan Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan Glenn Fine, yang ditugasi memimpin pengawasan paket ekonomi US$2,2 triliun untuk membantu pengusaha dan individu yang terdampak COVID-19.

Glenn telah dipilih oleh rekan-rekannya bulan lalu untuk menjalankan pengawasan paket stimulus tersebut.

Tapi Trump malah menominasikan Irjen baru dan untuk sementara menunjuk pelaksana tugas untuk menggantikan Glenn.

Artinya Irjen Glenn tidak bisa lagi melakukan pengawasan, seperti yang ditugaskan oleh Kongres. Dia akan kembali ke jabatannya semula sebagai Irjen Dephan AS.

Lebih banyak dibanding Italia

Meski Gubernur New York Andrew Cuomo menyatakan tetap optimis, jumlah kasus infeksi di New York sudah melampaui Italia.

Negara bagian New York melaporkan 138.836 kasus, sementara Italia 135.586 kasus. Amerika Serikat secara keseluruhan mencatat 380.000 kasus.

Pekan ini, AS bersiap memasuki apa yang oleh seorang pejabat disebut sebagai "puncak kematian" akibat COVID-19.

Untuk negara-negara Eropa, khususnya Italia dan Spanyol yang paling terpukul, mulai mempertimbangkan untuk mengurangi batasan 'lockdown'.

Di Spanyol, laju kematian akibat COVID-19 meningkat untuk pertama kalinya dalam lima hari, tapi masih ada harapan jika lockdown nasional akan segera dilonggarkan.

Italia memberlakukan 'lockdown' nasional pada 9 Maret lalu untuk memperlambat penyebaran virus dan disusul oleh Spanyol yang melakukannya pada 14 Maret.

Negara bagian New York sendiri telah mewajibkan seluruh warganya untuk tinggal di rumah, kecuali untuk urusan penting sejak 20 Maret.

Sekarang lebih dari 94 persen warga Amerika berada dalam pembatasan yang sama.

Di seluruh dunia, hingga hari ini lebih dari 1,3 juta orang dipastikan terinfeksi COVID-19 dan lebih dari 75.000 orang meninggal.

Jumlah kasus yang sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi, karena terbatasnya tes, perbedaan aturan di tiap negara dalam menghitung kasus kematian, serta ada pula sejumlah negara yang sengaja tidak melaporkannya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: