Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tak Punya Empati, saat Covid-19 LSM Malah Kampanye Hitam Sawit

Tak Punya Empati, saat Covid-19 LSM Malah Kampanye Hitam Sawit Kredit Foto: Antara/Aswaddy Hamid
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah perlu sigap untuk menertibkan LSM asing yang terus menciptakan kampanye hitam terhadap industri berbasis Sumber Daya Alam seperti Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sawit di tengah pandemi Covid-19. Harusnya, pada masa yang sulit seperti sekarang, LSM perlu menunjukkan empati kepada masyarakat dan pemerintah Indonesia.

Anggota Komisi IV DPR, Darori Wonodipuro menilai dalam situasi saat ini, semua korporasi tengah berjuang keras untuk bisa bertahan serta memperbaiki kinerjanya. Di sisi lain, dirinya sepakat jika kesejahteran pekerja buruh harus ditingkatkan. Namun, hal itu berbanding lurus dengan peningkatan kemampuan perusahaan.

Baca Juga: Peran Perempuan dalam Keberlanjutan Industri Sawit

"Masalahnya jangan di balik seolah-olah terjadi kriminalisasi terhadap pekerja terutama buruh dan di-framing di dunia internasional menjadi kejahatan lingkungan di Indonesia," kata dia di Jakarta, Selasa (21/4/2020).

Belum lama ini, satu LSM lingkungan meminta masyarakat/individu berdonasi agar dapat mengekspos kejahatan lingkungan dengan melakukan aksi langsung tanpa kekerasan guna melindungi hutan, laut, udara, dan makhluk hidup di bumi. Dana tersebut dipergunakan untuk kampanye dengan sejumlah isu: 41% hutan, 17% laut, 18,5% perubahan iklim dan energi, 18,5% pangan, 4,5% detoks, dan sisanya untuk keperluan lain. Industri sawit menjadi salah satu objek kampanye hitam berdalih penyelamatan lingkungan tersebut.

Darori menambahkan, berbagai perbaikan yang telah dan terus dilakukan harus diapreasiasi semua pihak. Dia mencontohkan, pengendalian pembalakan liar menunjukkan hasil ketika Indonesia mulai memberlakukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem ini menjamin produk kayu yang diperdagangkan berasal dari sumber sah dan dikelola dengan sistem silvikultur yang baik.

"Setelah ada SVLK, illegal logging turun dan pasar Uni Eropa terbuka," kata Darori yang pernah menjabat sebagai Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan 2007-2014.

Pemerintah juga melakukan kebijakan sama terkait tata kelola sawit melalui  Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Sebagai kebijakan Indonesia, ISPO perlu diapreasiasi karena punya komitmen kuat perbaikan tata kelola industri sawit termasuk penyelesaian berbagai persoalan seperti tumpang tindih lahan, pengurangan emisi gas rumah kaca, dan komitmen perbaikan terhadap pasar global.

"Kebijakan ini perlu dipahami agar LSN tidak terus melakukan kritik tanpa dasar," imbuh Darori.

Namun demikian, dirinya memahami bahwa tidak semua LSM lingkungan di Indonesia punya kepentingan baik. Bahkan, ada beberapa LSM besar hanya punya kepentingan untuk mencari hidup di Indonesia. Terhadap LSM seperti ini, pemerintah harus bertindak tegas.

"Biasanya, LSM seperti ini hanya hanya berprinsip pokoke dan merasa paling benar sendiri," ujar Darori lagi.

Darori juga menyesalkan sikap sebagian LSM yang menolak RUU Omnibus Law tanpa memberikan masukan apapun. Menurutnya, banyak LSM hanya berteriak Omnibus Law sebagai kebijakan yang timpang, tetapi tidak memberi masukan apapun untuk perbaikan.

Darori berpendapat, jika LSM punya kepentingan baik untuk Indonesia, seharusnya mereka mendatangi DPR dan memberi masukan disertai data teknis. Hal Ini penting karena tidak semua anggota DPR paham persoalan teknis. Jangan ketika keputusan yang telah diketok palu, muncul kampanye lain seolah-olah regulasi ini hanya keputusan politis.

"LSM yang baik harus bisa diajak duduk bersama," ujarnya.

Sementara itu, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB, Sudarsono Soedomo, mengatakan bahwa saat ini tidak hanya masyarakat, tetapi juga semua korporasi termasuk HTI dan perkebunan sawit tengah mengalami masa sulit akibat pandemi Covid-19. Ini persoalan besar yang tidak mudah dan harus diselesaikan dengan baik agar perekonomian Indonesia bisa bangkit.

"Kampanye tidak simpatik seperti dilakukan LSM yang mencari donasi, tetapi menyudutkan pihak lain sebagai pelaku kejahatan lingkungan bisa masuk kategori kejahatan kemanusiaan," kata Sudarsono.

Menurut Sudarsono, jika LSM punya tujuan ingin memperbaiki, seharusnya perbaikan dimulai dari yang paling buruk. Faktanya, selama ini HTI dan perkebunan sawit jauh lebih baik dibandingkan industri karet atau kakao.

Pertanyaannya, mengapa kampanye untuk perbaikan lingkungan tidak dimulai dari industri yang lebih buruk? Dalam beberapa tahun terakhir target kampanye LSM hanya menyasar pada HTI dan perkebunan sawit. Hal itu menjadi tanda tanya besar.

Karena itu, Sudarsono mengharapkan pemerintah perlu alert terhadap kampanye-kampanye yang tidak elegan dan meminta agar semua LSM di Indonesia melakukan tranparansi keuangan.

"Tidak adanya transparansi pendanaan mengakibatkan banyak kampanye LSM secara berani dan terbuka hanya mem-framing pada tujuan dan target mereka saja dan tidak menghormati sisi kemanusiaan orang lain," tegasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: