Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menggali Kemungkinan-kemungkinan Bangkitnya Autokrat di Timur Tengah saat Pandemi Corona

Menggali Kemungkinan-kemungkinan Bangkitnya Autokrat di Timur Tengah saat Pandemi Corona Kredit Foto: Reuters/Ganoo Essa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Wabah COVID-19 meruak di tengah proses restrukturisasi politik dan sosial di Timur Tengah dan Afrika Utara yang berlangsung sejak Musim Semi Arab. Meski situasi di berbagai negara berbeda-beda –entah itu di negeri makmur di semenanjung Arab hingga ke Yaman atau Suriah yang remuk oleh perang, pandemi corona menyisakan tantangan besar yang memicu pergeseran tektonik.

 

 

Perubahan di kawasan ini bisa diamati pada tiga level: yakni pada tatanan internasional dengan China sebagai “pusat gravitasi kesehatan” dunia, yang kedua terjadi pada tatanan regional, di mana Arab Saudi dan Uni Emirat Arab bergeliat membangun kekuatan hegemoni dan yang terakhir adalah pada level nasional yang dimanfaatkan sejumlah autokrat ubtuk membetoni kekuasaan mereka.

China dan Timur Tengah

Tahun-tahun belakangan menjadi saksi tumbuhnya simpul kepentingan antara China dan Timur Tengah, terutama di bidang politik, perdagangan, persenjataan dan pendidikan, di mana universitas China dan Institut Konfusius bertebaran di berbagai negara.

Bukti pertalian erat antara penguasa China dan jazirah Arab semakin terlihat jelas di tengah pandemi, ketika beberapa negara berlomba-lomba memberikan bantuan kepada Beijing di masa awal wabah.

Sebaliknya China berusaha mempropagandakan keberhasilan pemerintah meredam laju penyebaran virus. Apakah angka kasus penularan dan kematian yang dirilis pemerintah akurat atau tidak, bukan persoalan di sini.

Apa yang penting adalah narasi tentang kemenangan dalam perang melawan virus melalui upaya kolektif masyarakat di bawah pimpinan Partai Komunis.

Kritik di media-media sosial dibungkam melalui jaring sensor yang komperhensif. Pergulatan melawan pandemi membuka kesempatan untuk menggandakan kontrol pemerintah atas kehidupan warga melalui ragam teknologi pengawasan yang dibangun sebelum krisis, seperti piranti pendeteksi wajah atau sistem kredit sosial.

Dalam pemberitaannya, media-media China tak lelah mempropagandakan betapa wabah di Eropa dan Amerika Serikat membuktikan sistem pemerintahan di negara barat lebih inferior dan bahwa sistem kesehatan China mampu menanggulangi dampak pandemi.

Rasa superioritas dan keyakinan diri yang mengental lewat propaganda pemerintah seperti di China juga diamati peneliti sejak beberapa tahun terakhir di berbagai kawasan di dunia.

Ragam studi membuktikan bagaimana penguasa di Arab Saudi, Iran, China dan negara lain tidak hanya mendukung autokrat lain, tapi juga berusaha mengekspor sistem represif yang mereka kembangkan. Hal ini bisa diamati di negeri jiran atau juga di belahan Bumi bagian lain.

Tidak heran jika Indeks Demokrasi yang disusun Freedom House Institute menyimpulkan tren “kemunduran demokrasi.”

Pendeknya, strategi China meredam pandemi menawarkan peluang bagi autokrat-autokrat Timur Tengah untuk membetoni kekuasaan mereka.

Pandemi sebagai peluang bagi demagog

Kerajaan-kerajaan kaya di Semenanjung Arab memiliki kapasitas yang lebih besar buat menghadang penyebaran wabah. Para monarki di Teluk tidak hanya memiliki infrastruktur kesehatan berkelas, tetapi juga sudah berpengalaman menghadapi wabah.

Arab Saudi misalnya sudah mengembangkan protokol penanggulangan wabah secara nasional ketika virus MERS mengamuk pada 2012. Berkat strategi itu pemerintah Riyadh mampu bereaksi dini, antara lain dengan menggandakan kapasitas diagnosa virus.

Kawasan Teluk juga lebih mampu memitigasi dampak krisis berkat program bantuan pemerintah dan kelonggaran kredit. Meski begitu nadi perekonomian negara-negara ini melekat erat dengan arus perdagangan global, yakni sebagai sumbu penerbangan dunia, sebagai sumber investasi dan lapangan kerja, terutama bagi buruh migran yang berjasa mewujudkan proyek-proyek futuristis seperti kota modern NEOM di Arab Saudi.

Ketika Riyadh berusaha memanfaatkan krisis COVID-19 untuk membentengi ambisinya membangun hegemoni di Kawasan, antara lain dengan menolak keringanan sanksi terhadap Iran, Uni Emirat Arab yang bersekutu erat dengan Arab Saudi melihat pandemi ini sebagai peluang melebarkan pengaruh luar negeri dan keluar dari bayang-bayang jiran yang lebih berkuasa.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: