Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Perusahaan Mulai Telat Bayar Bunga MTN, BI dapat Tiru Bank Sentral AS

Perusahaan Mulai Telat Bayar Bunga MTN, BI dapat Tiru Bank Sentral AS Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dalam beberapa pekan terakhir, ada perusahaan yang dinyatakan terlambat bayar bunga obligasi berbentuk medium term note (MTN) sesuai tenggat waktu. Situasi ini sangat wajar mengingat akibat pandemi Covid-19, aktivitas ekonomi berkurang drastis, pusat-pusat perbelanjaan tutup, perkantoran sentra bisnis tak optimal, dan bisnis menjadi lesu. Akhirnya, ekonomi tertekan.

Berdasarkan data Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI) dan otoritas bursa, beberapa perusahaan yang telat bayar bunga obligasi antara lain, PT Corpus Prima Mandiri, PT Eatwell Culinary Indonesia, PT Oligo Infrastruktur Indonesia, dan PT Corpus Asa Mandiri. Sementara, beberapa dari perusahaan yang gagal membayar bunga obligasi MTN tersebut merupakan perusahaan bagian dari grup besar, seperti PT Eatwell Culinary Indonesia.

Baca Juga: Bank Indonesia Semangat'45, Tapi Rupiah Tak Bertenaga Lawan Dolar AS

Grup restoran tersebut memiliki ratusan outlet restoran di Indonesia seperti Ta Wan, dan antara lain dimiliki oleh Falcon House Partners, perusahaan private equity. Falcon House memiliki beberapa investasi di Indonesia lainnya termasuk kepemilikan saham di Grup Ismaya dan Potato Head.

Ekonom yang juga dosen Perbanas Institute, Piter Abdullah, mengatakan bahwa permasalahan terbesar yang dihadapi banyak perusahaan sekarang ini adalah likuiditas. Karena bisnis sepi, cashflow yang sedianya untuk memutar bisnis sekaligus membayar utang menjadi tersendat.

"Perusahaan mengalami cashflow yang defisit. Oleh karena itu, perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban mereka membayar cicilan utang," ujar Piter kepada media, Jumat (24/4/2020).

Di tengah perlambatan ekonomi dan bisnis, pemerintah memang sudah memberikan kelonggaran pajak kepada perusahaan yang bertujuan untuk mengurangi beban likuditas. Otoritas Jasa Keuangan pun sudah melonggarkan restrukturisasi kredit. Hal ini juga untuk mengurangi tekanan likuditas.

Namun, untuk perusahaan yang benar-benar kehilangan income, kata Piter, bisa jadi bantuan bantuan tersebut belum mencukupi karena mereka masih ada kewajiban cicilan utang yang diterbitkan di pasar modal. Di AS, menimbang besarnya tekanan likuiditas akibat Covid-19, The Fed alias Bank Sentral AS, melakukan pembelian surat utang langsung kepada korporasi.

"Tujuannya, mengurangi beban tekanan likuiditas atau dengan kata lain kebijakan memompa likuiditas," ujar piter.

Opsi seperti yang dilakukan The Fed, menurut Piter, perlu untuk dikaji dan dapat diterapkan mengingat kebutuhan utama para pelaku pasar dunia usaha, terutama di bursa, lebih pada ketersediaan likuiditas. Sementara jika relaksasi secara langsung, cenderung akan memberi persepsi negatif ke pasar. Juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pasar modal, sekaligus mengganggu likuiditas pasar.

"Jadi bentuk bantuan yang paling tepat menurut saya dengan menambah likuiditas. Sebagaimana dilakukan oleh The Fed, melakukan pembelian surat utang yang dijual oleh perusahaan-perusahaan  yang mengalami kesulitan likuiditas," ujar Piter.

Kebijakan seperti itu, ditegaskan Piter, meski belum pernah dilakukan di Indonesia, sangat mungkin untuk diterapkan dan cara tersebut lebih tepat ketimbang melakukan relaksasi pasar modal. Dengan kombinasi kebijakan ekonomi yang tepat, diharapkan perusahaan dapat bertahan di tengah tekanan ekonomi akibat Covid-19. Kendala likuditas pun bisa lebih tertangani dengan baik sehingga bisnis tetap berputar.

"Model ini setahu saya belum pernah dilakukan, tapi menurut saya sangat mungkin dilakukan. Cara ini lebih baik daripada melakukan relaksasi pasar modal," tegasnya.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: