Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Wabah Corona Versus Wabah Internet

Oleh: Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI

Wabah Corona Versus Wabah Internet Kredit Foto: IndiHome
Warta Ekonomi, Jakarta -

Hidup tanpa internet, untuk saat ini rasanya tidak mungkin. Ketergantungan kita terhadap internet begitu tinggi, bahkan dominan. Bahkan ada sebuah survei, banyak kelompok masyarakat yang rela mengurangi belanja keperluan dapur dan menambahkannya untuk keperluan internet.

Di tengah kepungan era serba digital, internet telah menjadi prasyarat mutlak dalam kehidupan sehari-hari. Kini lebih dari 170 juta masyarakat Indonesia menjadi pengguna loyal makhluk yang bernama internet ini. Dan merebaknya wabah corona atau Covid-19 makin mengukuhkan bahwa kehadiran internet menjadi keniscayaan.

Pasalnya, demi mencegah transmisi wabah yang kian meluas, warga diminta/diwajibkan tetap tinggal di rumah. Belajar dan bekerja pun harus dari rumah sehingga istilah work from home (WFH) dan learn from home (LFH) begitu populer saat ini. Pertemuan-pertemuan pun berbasis online, baik dalam skala kecil atau bahkan besar. Terminologi vicon alias video conference menjadi hal yang jamak dan melibatkan lebih dari 400-an audiens. Dan dalam batas tertentu dengan instrumen WFH, LFH, dan video conference, justru terasa lebih efektif dan efisien. Merebaknya wabah virus corona telah melahirkan wabah baru yakni "wabah internet".

Merebaknya wabah virus corona yang kemudian berbuntut menjadi wabah internet tak pelak melahirkan persoalan baru yang tak terantisipasi sebelumnya, baik oleh pemerintah, operator telekomunikasi, dan juga masyarakat. Masyarakat terlihat shock karena persoalan WFH, LFH, dan juga vicon selama ini masih menjadi barang langka. Hanya sebagian kecil yang telah melakukannya.

Namun kini tiba-tiba semua harus berbasis online. Termasuk, shock dalam hal ekonomi karena harus mengeluarkan keperluan belanja internet dalam jumlah signifikan. Namun, bukan hanya masyarakat saja yang terlihat shock, operator telekomunikasi pun tampak shock, minimal tergagap-gagap. Operator telko sekelas PT Telkom pun harus jungkir-balik, bekerja siang malam, untuk meng-upgrade infrastrukturnya guna menyokong WFH dan LFH. Di satu sisi tim lapangan harus turun langsung melakukan upgrading fasilitas pendukung agar pelayanan internet tidak terganggu bahkan andal, tetapi di sisi lain mereka harus bekerja dengan standar protokol kesehatan. Demikian juga dengan operator telko yang lain juga mengalami hal sama.

Padahal jika dilihat dari sisi ceruk bisnis, wabah corona ini justru mendatangkan rezeki yang amat melimpah bagi industri telko. Jika industri lain semaput gegara wabah corona maka sebaliknya industri telko tersenyum lebar, ibaratnya "sengsara membawa nikmat". Sebagai contoh, selama WFH dan LFH, PT Telkom dengan produk Indihome-nya mengalami lonjakan permintaan konten, yaitu konten pendidikan naik 60,20% (semula 90 terra); konten komunikasi naik 35,5% (semula 15 penta); games naik 28,51% (8 penta); perdagangan daring naik 18,01% (semula 1.000 terra); dan video naik 4,22% (semula 104 penta).

Bahkan, penggunaan aplikasi Zoom melonjak hingga 3.800 persen yang semula hanya satu giga saja. Bagaimana tidak melonjak setinggi langit, nyaris semua pertemuan online menggunakan aplikasi Zoom. Padahal, aplikasi ini diragukan keamanannya (ada dugaan peretasan data pribadi).

Melambungnya permintaan dan pemakaian internet juga menimbulkan persoalan lain dari sisi pelayanan, yakni melambannya akses internet. Masyarakat sebagai konsumen jasa produk internet mengeluh internetnya lelet, bahkan letoy. Bahkan, seorang konsumen mengadu ke YLKI jika kecepatan internetnya tinggal 1,7 Mbps saja. Sangat lambat bukan?

PT Telkom pun kebanjiran pengaduan konsumen terkait hal ini. Terbukti, pengaduan via call center 147 naik 51 persen dan via media sosial naik 35 persen. Jenis keluhannya meliputi lambatnya akses internet, internet yang terputus/tidak terkoneksi, atau persoalan teknis lainnya, misalnya psB Indihome belum terpasang. Masyarakat konsumen gelisah, tuntutan kerja dan belajar yang berbasis internet, tiba-tiba keandalannya menurun.

Padahal pelaksanaa WFH dan LFH membutuhkan pelayanan internet yang andal. Jika WFH gagal hanya karena lambannya internet, bisa-bisa kena sanksi dari perusahaan. Menurunnya keandalan internet, dari sisi hak konsumen, jelas merupakan masalah. Karena bagaimana pun konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keandalan saat menggunakan internet. Tetapi, faktualnya perilaku yang tiba-tiba dan shock tadi tentu akan berdampak terhadap keandalan, apapun komoditasnya.

Lonjakan permintaan internet yang serentak akan menurunkan keandalan infrastruktur internet (bandwidth). Fenomena tersebut pasti akan memengaruhi kapasitas dan keandalan bandwidth internet dan troughput yang dihasilkan. Analoginya adalah ruas jalan tol, sepanjang dan seluas apapun jalan tolnya jika tiba tiba digerojoki arus deras kendaraan bermotor (seperti saat puncak arus mudik Lebaran), pasti trafik akan lumpuh total (gridlock).

Sekuat dan sekeras apapun traffict management yang dilakukan tak akan mampu memaksimalkan fungsi jalan tol. Wabah corona itu ibarat tsunami sehingga akan memorak-porandakan pelayanan public services, termasuk internet. Bahkan pelayanan rumah sakit pun tidak didesain untuk pandemi, apalagi pandemi global.

Menurunnya pelayanan dan kecepatan internet saat wabah corona bukan hanya dialami oleh konsumen di Indonesia. Ookla, developer Speedtest, melaporkan adanya penurunan kecepatan internet di seluruh dunia. Penyebabnya, banyak yang mengakses internet secara bersamaan dan membuat kenaikan trafik internet. Di India dan Malaysia kecepatan internet tinggal 80 per Mbps.

Demikian juga yang terjadi di negara negara Eropa, Amerika Serikat, dan China. Bahkan, dari sisi yang lain, manakala terjadi lonjakan pemakaian internet, faktanya di lapangan tidak terjadi kecelakaan fatal di jaringan internet, misalnya BTS terbakar/meledak, atau bahkan putusnya kabel laut, sehingga mengakibatkan pelayanan internet padam total. Hal ini tak lepas keandalan infrastruktur dari kerja keras manajemen Telkom yang menguasai 86,4 persen market share untuk jaringan internet berbasis kabel (serat optik). Hal ini harus kita apresiasi.

Namun, idealnya dalam kondisi seperti ini yang kita minta adalah fungsi divisi customer services perusahaan telekomunikasi bukan hanya bekerja ekstra keras untuk mengatasi keluhan konsumen; tetapi harus lebih kreatif dan cerdas untuk menciptakan suasana consumer friendly. Mereka harus mampu mencerdaskan konsumen sehingga mengerti aspek product knowledge dan bussiness process di sektor telekomunikasi.

Dalam situasi dan kondisi wabah seperti sekarang ini, secara psikologis bisa dimengerti jika konsumen lebih emosional dan super bawel. Mengingat, selain adanya ketakutan (stres) terhadap virus corona itu sendiri juga adanya tekanan ekonomi. Jadi, petugas customer service harus mampu ngewongke, memanusiawikan, konsumennya. Oleh karena itu, upaya pemberian diskon (tarif promo) internet oleh operator telko kepada konsumen seperti yang dilakukan oleh PT Telkom pada konsumennya patut diapresiasi.

Simpulan, Saran

Pada akhirnya, wabah virus corona yang kemudian melahirkan wabah penggunaan internet harus menjadi catatan keras semua pihak, baik operator, regulator, dan bahkan masyarakat konsumen. Bagi operator telko, ini pekerjaan rumah untuk terus meng-upgrade infrastruktur dan jaringan telekomunikasi sehingga pelayanan internet lebih andal.

Apalagi era industri 4.0 dan era digital ekonomi, keandalan infrastruktur internet menjadi prasyarat mutlak. Jadi, idealnya tidak ada apologi sistem jaringan internet down, sekalipun ada booming permintaan pemakaian internet.

Regulator pun juga harus fair, operator yang mengendors pelaksanaan WFH dan LFH secara penuh seharusnya diberikan berbagai kemudahan dan insentif. Ke depan, agar akses internet konsumen makin variatif maka di semua daerah di Indonesia seharusnya ada multioperator, bukan hanya di kota-kota besar di Pulau Jawa saja. Sebab keberadaan multioperator telko di suatu daerah akan mendorong efisiensi dan berimplikasi positif pada sisi pelayanan, tarif telekomunikasi/tarif internet yang lebih fair dan terjangkau, plus mengakomodasi hak konsumen untuk memilih operator telekomunikasi.

Operator dan regulator pun harus mengantisipasi jika kelak wabah Covid-19 usai sangat boleh jadi WFH dan LFH akan tetap menjadi habituasi baru masyarakat. Sebab faktanya bekerja dan belajar di rumah berbasis akses internet justru lebih efektif dan efisien. Pergi ke kantor hanya diperlukan manakala ada sesuatu yang urgent atau bahkan emergency saja.

Dengan kata lain, profil dan kinerja internet yang andal menjadi kebutuhan mutlak menuju industri 4.0 dan terwujudnya masyarakat Indonesia yang berbasis digital. Pemerintah pun seharusnya memberikan insentif kepada masyarakat, misalnya dengan menggratiskan pelayanan internet. Masak kalah dengan Malaysia, Iran, dan Maladewa; yang menggratiskan internet untuk warga selama masa tanggap darurat virus corona.

Jauh lebih penting memberikan subsidi/menggratiskan internet daripada menggratiskan tagihan listrik.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: