Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tolak Usulan DPR, BI Ogah Cetak Uang

Tolak Usulan DPR, BI Ogah Cetak Uang Kredit Foto: WE
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bank Indonesia (BI) secara tegas menolak usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk mencetak uang dalam menangani wabah Covid-19. Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan bahwa BI berkomitmen untuk melaksanakan kebijakan moneter yang prudent dan dengan tata kelola yang baik.

Sesuai UU Mata Uang (UU No. 7 Tahun 2011), perencanaan, pencetakan, dan pemusnahan uang kartal (uang kertas dan logam) melalui koordinasi BI dengan Kementerian Keuangan dengan jumlah sesuai dengan prakiraan kebutuhan masyarakat. Keseluruhan proses pengolahan uang sesuai dengan tata kelola dan diaudit oleh BPK.

Baca Juga: Alhamdulillah, Nilai Tukar Rupiah Menuju Sasaran BI Rp15 Ribu/US$

"Oleh karena itu, pandangan bahwa BI akan melakukan pencetakan uang dalam upaya mitigasi Covid-19 adalah tidak sesuai dengan best practice kebijakan moneter yang prudent dan BI tidak akan melakukan langkah kebijakan tersebut," ujar Perry di Jakarta, Rabu (6/5/2020).

Dia menjelaskan, dalam menangani dampak Covid-19, BI telah mengambil kebijakan Quantitative Easing (QE) melalui injeksi likuiditas ke perbankan dengan jumlah secara total telah mencapai sekitar Rp503,8 trililun.

"Periode Januari–April 2020 sebesar Rp386 triliun, yang bersumber dari pembelian SBN di pasar sekunder dari investor asing sebesar Rp166,2 triliun, term repo perbankan sebesar Rp137,1 triliun, swap valuta asing sebesar Rp29,7 triliun, dan penurunan Giro Wajib Minimun (GWM) rupiah di bulan Januari dan April 2020 sebesar Rp53 triliiun," jelas Perry.

Kemudian, periode Mei 2020 sebesar Rp117,8 triliun yang bersumber dari penurunan GWM rupiah sebesar Rp102 triliun dan tidak mewajibkan tambahan Giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) sebesar Rp15,8 Triliun.

"Kebijakan QE akan dapat memberikan dampak yang efektif ke sektor riil dengan dukungan dari stimulus fiskal, antara lain melalui implementasi jaring pengaman sosial, insentif industri termasuk subsidi KUR dan program bantuan sosial lainnya serta dukungan rektrukturisasi kredit," ucap Perry.

Sebelumnya, Badan Anggaran DPR RI mengusulkan kepada pemerintah dan BI untuk mencetak uang Rp600 triliun. Hal ini karena anggaran pemerintah untuk menangani Covid-19 beserta dampaknya tidak mencukupi.

Badan Anggaran DPR beralasan diperlukan uang banyak untuk dorong sektor UMKM bertahan di tengah krisis pandemi. Kebanyakan rakyat juga butuh uang cash untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, ditambah melebarnya defisit APBN di atas 5 persen dari sebelumnya hanya 1,75 persen. Dengan defisit hingga Rp853 triliun, biaya dan risiko untuk menutup defisit itu menjadi sangat tinggi.

Berikut poin-poin Rekomendasi Badan Anggaran DPR:

1. Melakukan kebijakan quantitative easing lebih lanjut agar Bank Indonesia membeli SBN/SBSN repo yang dimiliki perbankan dengan bunga 2 persen, khususnya perbankan dalam negeri agar memiliki kecukupan likuiditas;

2. Bank Indonesia memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek kepada perbankan untuk mempertebal likuiditasnya agar kemampuan perbankan sebagai transmisi keuangan tetap optimal dan sehat;

3. Bank Indonesia mencetak uang dengan jumlah Rp400-600 triliun sebagai penopang dan opsi pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah. Mengingat, dalam situasi global yang ekonominya slowing down, tidak mudah mencari sumber sumber pembiayaan meskipun dengan menerbitkan global bond dengan bunga besar. Bank Indonesia dapat menawarkan yield sebesar 2-2,5 persen, sedikit lebih rendah dari global bond yang dijual oleh pemerintah;

4. Kebijakan mencetak uang sebagaimana yang dimaksud pada poin 3 di atas harus memperhitungkan biaya operasi moneter Bank Indonesia sehingga biaya tersebut tidak boleh dibebankan kepada pemerintah. Oleh sebab itu, besaran yieldnya tidak boleh lebih rendah dari biaya operasi moneter Bank Indonesia agar tidak menimbulkan kerugian bagi Bank Indonesia, serta tidak menyebabkan modal Bank Indonesia lebih rendah 10 persen dari kewajiban moneternya;

5. Kebijakan mencetak uang sebagaimana yang dimaksud pada poin 3 di atas harus memperhitungkan dampak inflasi yang ditimbulkan, sekaligus tekanan kurs terhadap rupiah.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: