Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Oh, WHO... Ganggu Sawit Sama Saja Buat Kami Miskin!

Oh, WHO... Ganggu Sawit Sama Saja Buat Kami Miskin! Kredit Foto: Antara/Aswaddy Hamid
Warta Ekonomi, Jakarta -

Di tengah wabah Covid-19, artikel-artikel yang diterbitkan oleh WHO (World Health Organization) Regional Mediterania Timur dan Eropa mendapatkan kecaman dan protes dari Indonesia dan Malaysia selaku produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, termasuk Apkasindo.

Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Manurung, menyatakan, "Sikap WHO ini sangat keterlaluan karena mengeluarkan rekomendasi hindari konsumsi makanan dari minyak sawit. Seharusnya, Organisasi Kesehatan Dunia ini menyelamatkan manusia. Justru kampanye mereka ini mematikan negara penghasil CPO. Termasuk juga bisa mematikan petani."

Baca Juga: Q1 2020: Produksi Sawit Turun, Konsumsi Domestik Naik

Dalam artikel yang berjudul "Nutrition Advice for Adults during Covid-19" dituliskan bahwa selama pandemi Covid-19 disarankan untuk mengonsumsi lemak tak jenuh (misalnya yang ditemukan dalam ikan, alpukat, kacang-kacangan, minyak zaitun, kedelai, kanola, minyak bunga matahari, jagung) dibandingkan konsumsi lemak jenuh (seperti daging, mentega, minyak kelapa, minyak kelapa sawit, krim, keju, ghee, dan lemak babi).

Sementara itu, dalam artikel yang berjudul "Food and Nutrition Tips During Self Quarantine" yang diterbitkan WHO regional Eropa ditemukan imbauan yang tertulis mengurangi konsumsi makanan seperti daging merah dan berlemak, mentega, produk susu berlemak, minyak kelapa sawit, minyak kelapa, dan lemak babi.

Gulat menambahkan, "Jelas sekali pernyataan ini tendensius menyudutkan sawit. Kami mewakili petani sawit Indonesia memprotes WHO karena membuat pernyataan yang cenderung menyudutkan sawit. Harusnya organisasi sekaliber WHO pakai data ilmiah yang sudah teruji."

Tidak hanya itu, Sekretaris DPW Apkasindo Papua Barat, Dorteus Paiki juga sangat menyayangkan pernyataan-pernyataan spekulatif sebagaimana yang disampaikan oleh WHO. Padahal, kata Paiki, di Papua Barat sedang melakukan perencanaan PSR (peremajaan sawit rakyat) dengan dinas perkebunan seluas 25 ribu hektare.

"Sebagian bahan tanamannya 3 bulan lalu sudah kami jemput kecambahnya dari PPKS Medan sebanyak 120 ribu untuk persiapan PSR tahap I yang akhir tahun ini akan launching. Itu semua pakai uang kredit di bank. Jadi, jika terganggu pasar CPO dunia karena statement WHO tersebut akan membuat kami menderita. Saya mendukung Apkasindo untuk melakukan surat protes ke WHO," ujar Paiki.

Padahal baru-baru ini, berdasarkan artikel yang dipublikasikan oleh Prof. Dr. Sri Raharjo, Guru Besar Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Universitas Gadjah Mada (UGM) dijelaskan, dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini, penting untuk mengonsumsi makanan yang mengandung pro-vitamin A, vitamin E, serta vitamin C guna menjaga kesehatan paru-paru untuk meningkatkan imunitas tubuh menghadapi pandemi Covid-19. Uraian dari Sri Raharjo ini mutlak mematahkan semua pernyataan WHO yang menyudutkan minyak sawit.

Gulat mengemukakan bahwa jika memang minyak sawit tidak baik seperti yang disebutkan WHO, tentu masyarakat dunia sudah dari 72 tahun lalu terserang berbagai jenis penyakit karena minyak sawit sudah menjadi komoditas dunia. Gulat mengibaratkan WHO telah menjadi "Humas" NGO yang aktif menyerang sawit karena mempromosikan minyak nabati lain.

"Kami petani tersinggung dengan pernyataan minyak sawit tidak baik dikonsumsi untuk kesehatan, terkhusus saat wabah Covid-19 ini," terang Gulat.

Gulat menyarankan bahwa WHO seharusnya fokus pada memunculkan gagasan penanganan Covid-19, bukan menghambat sawit di pasar global. "Kami hidup dari kelapa sawit baik sebagai petani, buruh tani, dan pekerja sektor industri berbahan baku sawit. Jadi, mengganggu sawit sama saja membuat kami miskin."

"Sawit adalah salah satu komoditas industri strategis di Indonesia karena melibatkan 41% masyarakat di dalamnya terutama petani, justru seharusnya menjadi perhatian penting dari WHO. Dengan mengusik sawit, berarti merusak mata rantai pendapatan rumah tangga 21 juta orang, ini baru di Indonesia, belum lagi di negara penghasil sawit lainnya," ujar Gulat.

Gulat mengingatkan pernyataan WHO akan berpotensi menyusahkan petani karena akan merusak pasar. Perlu dicatat bahwa beberapa negara penghasil sawit juga sangat terganggu dengan pernyataan WHO tersebut seperti Malaysia, Afrika, Thailand, Kolombia, dan Nigeria.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: