Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Antara Inovasi dan Frustrasi dalam Rencana Relaksasi PSBB

Antara Inovasi dan Frustrasi dalam Rencana Relaksasi PSBB Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah membuat satu keputusan strategis, tetapi berisiko tinggi, yakni melonggarkan pembatasan sosial dengan mengizinkan warga yang berusia muda untuk beraktivitas di luar rumah. Alasannya, berdasarkan data statistik, mereka yang berusia kurang dari empat puluh lima tahun relatif tidak rentan terinfeksi virus corona atau andai terjangkit pun tak selalu menjadi sakit.

Namun, keputusan itu juga dilatarbelakangi pertimbangan nonmedis demi menekan tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama bagi kalangan muda usia produktif. Kegiatan ekonomi yang lumpuh karena pembatasan sosial yang berlarut-larut segera berefek pada dunia usaha sehingga PHK tak terelakkan. Lebih dari dua juta pekerja di-PHK dan akan bertambah terus selama dua-tiga bulan mendatang.

Baca Juga: Tok! PSBB di Jabar Tidak Akan Diperpanjang

Pemerintah juga berencana menjajal kebijakan untuk tidak terlalu mengetatkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. Argumennya juga agar kegiatan ekonomi harus tetap diupayakan berjalan selagi pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda atau terkendali.

Inovasi

Dalam pemaparan data kasus kejangkitan wabah virus corona, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyebutkan bahwa orang yang berusia kurang dari 45 tahun tidak termasuk dalam kelompok rentan terjangkit corona. Kelompok yang dianggap rentan ialah mereka yang berusia 46-59 tahun (terutama yang memiliki penyakit bawaan) dan sangat rentan bagi yang berumur 65 tahun.

Atas dasar itulah, kelompok rentan dan sangat rentan wajib tetap beraktivitas di rumah, sedangkan yang muda-muda alias kalangan milenial disilakan berkegiatan atau bekerja mengais rezeki. Mereka yang masih muda boleh beraktivitas di luar rumah dengan tetap menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak, menghindari kerumunan, menggunakan masker, dan sering mencuci tangan dengan sabun.

Presiden Joko Widodo merestui rencana relaksasi itu dan malahan memerintahkan agar ketentuan-ketentuannya dirumuskan dalam bentuk kebijakan yang terukur. Jika pemberlakuan PSBB di satu satu atau beberapa daerah dianggap layak untuk dilonggarkan, presiden mewanti-wanti, keputusannya harus berdasarkan data dan fakta serta pertimbangan ilmiah, bukan asal dilonggarkan yang berpotensi tak terkontrol.

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap penerapan PSBB di sejumlah daerah, Jokowi berargumentasi, ternyata tidak semua yang memberlakukan kebijakan itu efektif menekan laju penularan Covid-19. Bahkan, dia mengklaim, ada tujuh provinsi yang tak menerapkan PSBB, tetapi berinovasi dengan model pembatasan lainnya, yang cukup berhasil mengendalikan penyebaran wabah itu.

Jokowi sampai mengapresiasi pemerintah daerah yang mencoba langkah-langkah alternatif tanpa harus menerapkan PSBB yang ketat dan masif. "Karena memang ada inovasi di lapangan dengan menerapkan model kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat disesuaikan dengan konteks di daerah masing-masing."

Gugus Tugas sudah menyusun skema kasar untuk mengizinkan pelonggaran PSBB. Kebijakan itu, secara umum, harus selaras situasi dan kondisi riil di daerah masing-masing. Jika pertumbuhan kasus kejangkitan Covid-19 memperlihatkan tren menurun secara stabil, pemerintah pusat akan mempertimbangkan untuk relaksasi. Sebaliknya, kalau trennya masih tinggi, apalagi kalau tingkat kepatuhan masyarakatnya rendah, tidak akan diizinkan untuk dibikin kendor.

Pemerintah pusat juga mengantisipasi perbedaan persepsi dengan pemerintah daerah yang berkemungkinan mengakibatkan kerja sama tak kompak. Bukan kasus langka kalau pemerintah daerah yang tak cocok dengan keputusan pemerintah pusat atau sebaliknya.

Frustrasi

Argumentasi pemerintah sejalan dengan kenyataan sebagaimana terungkap dalam hasil studi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA. Di 18 daerah yang menerapkan PSBB, menurut riset itu, sejauh ini belum maksimal menekan laju penularan corona. Bahkan, tidak ada efek bagus, yaitu efek yang secara grafik menunjukkan penurunan sangat drastis kasus baru.

Penyebabnya, menurut LSI, masing-masing pemerintah daerah yang menerapkan PSBB ternyata tidak disiplin memberlakukan pembatasan, terutama pada empat kegiatan, yakni kegiatan agama, kegiatan di tempat/fasilitas umum, kegiatan sosial budaya, dan kegiatan transportasi umum.

Beragam kritikan atas pemberlakuan PSBB di sejumlah daerah sebenarnya mulai mengemuka sejak kebijakan itu diuji coba di DKI Jakarta kemudian menyusul Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang Raya. Umumnya dipandang tak efektif karena seolah diterapkan setengah-setengah. Pola pembatasan yang berskala menyeluruh juga cenderung membikin frustrasi karena berlarut-larut dan tak ada kepastian waktu berakhirnya.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dedi Mulyadi malah menyarankan agar PSBB dihentikan saja karena jelas-jelas tidak efektif. Dia menilai, justru pemerintah yang membuat PSBB tak efektif, misal, melonggarkan operasional transportasi publik maupun kendaraan pribadi sehingga orang-orang masih bisa leluasa bepergian.

Mantan bupati Purwakarta itu mengusulkan PSBB diganti dengan karantina komunal berbasis RW dan desa. Dengan konsep itu, di setiap desa disediakan tempat karantina, pos penjagaan, dan perlengkapan lain sebagai pendukung. Masyarakat desa dikenal mandiri dan guyub sehingga akan lebih efektif dalam pengendalian Covid-19 jika mereka diberi kewenangan untuk mengaturnya. Masyarakat desa juga akan saling menjaga agar terhindar dari corona.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: