Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sawit: Tak Hanya Soal Ekonomi dan Lingkungan, Tapi Juga Keberlanjutan Sosial!

Sawit: Tak Hanya Soal Ekonomi dan Lingkungan, Tapi Juga Keberlanjutan Sosial! Kredit Foto: Antara/Irwansyah Putra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Secara teoritis, keberlanjutan (sustainability) memiliki tiga dimensi, yakni keberlanjutan secara ekonomi (economic sustainability), sosial (social sustainability), dan lingkungan (environment sustainability). Ketiga dimensi tersebut memiliki proporsi yang seimbang dalam menyumbang kualitas sustainability yang diharapkan.

Sebagaimana dikemukakan World Bank (2013) dalam publikasinya berjudul Inclusive Green Growth: The Pathway to Sustainable Development, keberlanjutan tidak cukup hanya bertumbuh 'hijau' (green growth), tetapi juga haruslah bersifat inklusif.

Oleh karena itu, mengukur sustainability memerlukan indikator inklusivitas. Dalam mengukur social sustainability misalnya, tidak cukup indikator mikro (eksklusif), yakni hanya pada level perusahaan, tetapi juga membutuhkan indikator inklusif berupa benefit yang dapat dinikmati masyarakat sekitar akibat kehadiran suatu perusahaan.

Baca Juga: Suplemen Minyak Sawit Merah: Pahlawan di Tengah Pandemi Covid-19

Indikator inklusif yang umum digunakan untuk mengukur social sustainability, antara lain dampaknya terhadap pembangunan pedesaan (rural development) dan pengurangan kemiskinan (poverty eradication). Dua indikator sosial yang inklusif tersebut sangat penting, khususnya bagi negara-negara yang sedang bertumbuh seperti Indonesia.

Melansir laporan Palm Oil Indonesia, dua indikator sosial eksklusif dalam perkebunan kelapa sawit yang penting adalah: (1) berapa besar penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraannya yang tercipta dalam perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit dan (2) seberapa besar perkembangan petani sawit akibat berkembangnya perusahaan perkebunan sawit, baik dalam bentuk kemitraan inti-plasma maupun kemitraan kordinasi (kepastian pemasaran hasil maupun akses teknologi dan manajamen usaha).

Kedua indikator tersebut sudah banyak diungkapkan melalui penelitan yang telah dilakukan oleh para pakar. Teknologi perkebunan kelapa sawit yang padat karya (labor intensive) tentu saja mampu menyerap banyak tenaga kerja dengan berbagai latar belakang keahlian.

 

Studi PASPI (2015) menemukan bahwa jumlah tenaga kerja yang terserap pada perusahaan perkebunan sawit mencapai sekitar 3,3 juta orang tenaga kerja. Dari jumlah tersebut sekitar 67 persen merupakan tenaga kerja berpendidikan SLTP ke bawah dan sisanya merupakan lulusan SLTA ke atas

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: