Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Legislator: Penyelamatan Garuda, Penyelamatan Industri Penerbangan Nasional

Legislator: Penyelamatan Garuda, Penyelamatan Industri Penerbangan Nasional Kredit Foto: Garuda Indonesia
Warta Ekonomi, Jakarta -

Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Sitorus, memperkirakan PT Garuda Indonesia Tbk akan mengalami bangkrut secara teknis bahkan sebelum kuartal empat (Q4) 2020. Menurut Deddy, penyebabnya bukan hanya negatif cashflow, namun juga ancaman modal yang tergerus menjadi negatif bila tidak ada pertolongan dari pemegang saham.

Baca Juga: Deddy Sitorus: New Normal adalah Upaya Menyelamatkan Warga dan Negara

Deddy menambahkan, perkiraannya itu juga merujuk apa yang disampaikan oleh IATA melalui Conrad Clifford, Regional Vice President kepada Kemenhub, bahwa proyeksi revenue 2020-2023 industri Airline akan turun hingga 41 persen dari kondisi sebelum Covid-19.

Dalam laporan keuangan tahun 2019, kata Deddy, equitas perusahaan 720 juta dolar AS dengan revenue 4.5 miliar dolar AS. Diasumsikan karena pandemi Covid-19, lanjut dia, revenue perusahaan turun 50 persen menjadi 2.25 miliar dolar AS, dan cost diproyeksikan turun menjadi 3.6 miliar dolar AS.

“Maka perusahaan  akan mengalami kerugian sekitar 1 miliar dolar AS, sehingga otomatis equitas akan tergerus menjadi minus 200 juta dolar AS,” kata Deddy, dalam pernyataan tertulis, Selasa (26/5/2020).

Wakil rakyat dari dapil Kalimantan Utara itu menuturkan, kecukupan modal Garuda Indonesia bermasalah akibat pandemi Covid-19. Dalam kondisi kritis seperti ini, Deddy mendorong para pemegang saham menginjeksi modal untuk mempertahankan agar modal (equitas) Garuda Indonesia bertahan lama.

Kewajiban pemerintah, kata Deddy, selaku pemegang 60.5 persen saham Garuda, dan CT Group selaku pemegang saham publik 30.5 persen, harus menginjeksi modal pada Garuda Indonesia.

“Mekanisme yang seharusnya dilakukan adalah right issue! Terbitkan saham baru dan ditawarkan ke pemegang saham. Jika pemegang saham minoritas tidak mampu atau tidak mau melakukan hal yang sama untuk injeksi modal tambahan maka by law mereka akan terdelusi, berkurang secara persentase kepemilikan sahamnya,” ujar Deddy.

“Kebutuhan equitas Garuda ini  jangan disiasati dengan pendekatan ‘utang baru’ agar pemegang saham minoritas tidak terdelusi. Tidak elok Maskapai nasional yang sudah sekarat ini malah disuruh cari utang baru yang menambah beban bunga di kemudian hari,” sambungnya.

Pada masa pandemi ini, ungkap Deddy, hampir semua perusahaan penerbangan mengalami turbulensi. Atas kondisi yang tidak biasa itu, hampir semua pemerintah menginjeksi modal untuk mempertahankan perusahaan penerbangannya. 

Di antaranya adalah Air France dan Qantas yang di-bail out pemerintahnya. Bahkan pemerintah Singapura menambah equitas SQ senilai 9.8 miliar dolar Singapura. 

“Kok Garuda yang jauh lebih sekarat malah disuruh cari utang komersial baru? Jika memang kehadiran Negara sebagai pemegang saham Berniat membantu senilai Rp 8.5 triliun, ya langsung saja suntikan modal (equitas), kenapa harus direkayasa mendapatkan utang komersial baru. Apakah ini buat menyiasati agar saham minoritas tidak terdelusi. Jawabannya: Pasti,” ungkap Deddy.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ferry Hidayat
Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: