Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Raden Pardede: Tak Ada B30, Harga TBS dan CPO Lebih Rapuh

Raden Pardede: Tak Ada B30, Harga TBS dan CPO Lebih Rapuh Kredit Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Warta Ekonomi, Jakarta -

Program mandatori B30 dinilai mampu menjadi tulang punggung terhadap penyerapan sawit di pasar domestik. Peningkatan pasar dan penyerapan minyak kelapa sawit untuk B30 mengakibatkan permintaan terhadap minyak sawit juga meningkat. Permintaan yang meningkat akan mendongkrak harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan harga TBS (tandan buah segar) milik petani.

Ekonom Senior, Raden Pardede mengatakan, "Kebijakan ini sangat membantu para petani sawit. Karena itu, kebijakan ini tepat."

Baca Juga: Kabar Baik untuk Petani, Periode I-Juni 2020: Harga TBS Mulai Berani!

Lebih lanjut Raden menjelaskan, seandainya saja Indonesia tidak menerapkan program B30, dapat dipastikan harga TBS dan CPO akan lebih rendah jika dibandingkan dengan harga yang terjadi saat ini. Pasalnya, sekitar 70 persen dari total produksi CPO diekspor ke luar negeri.

Celakanya, di tengah pandemi yang mengakibatkan perekonomian dunia lesu saat ini, permintaan akan CPO dari industri-industri yang menggunakan bahan baku minyak kelapa sawit sudah dipastikan menurun. Penurunan permintaan minyak sawit ini tentunya mengakibatkan harga TBS di tingkat petani ikut tertekan.

"Untung saja Indonesia ada program B30 sehingga penurunan permintaan minyak sawit tak terlalu signifikan. Jadi sebenarnya, program B30 merupakan kebijakan yang sangat baik, paling tidak untuk sementara waktu ini. Karena saya yakin, tanpa ada Program B30, harga TBS dan CPO kita akan turun," papar Raden.

Raden juga mengungkapkan manfaat dari adanya program B30 lainnya, yakni dapat menghemat devisa negara. Hasrat penambahan importasi solar dinilai tidak tepat meskipun harga minyak mentah dunia saat ini sangat murah. Ditambah lagi, Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030. Upaya yang dilakukan yakni dengan mengurangi penggunaan sumber energi fosil dan menggantinya dengan biodiesel yang merupakan renewable energy.

Lebih lanjut, Raden mengatakan bahwa di kala pandemi Covid-19 saat ini, Indonesia harus memiliki lokomotif ekonomi yang mampu membangkitkan perekonomian nasional karena hampir semua sektor ekonomi terpuruk. Hanya sedikit sektor ekonomi yang mampu bertahan, salah satunya perkebunan kelapa sawit beserta industri turunannya. Oleh karena itu, industri perkebunan kelapa sawit tersebut harus dikembangkan agar perekonomian Indonesia dapat menggeliat kembali.

Dalam implementasi program B30 sepanjang tahun 2020, telah disediakan sebanyak 9,6 juta kiloliter biodiesel. Manfaat ekonomi dan sosial yang akan diperoleh dari kebijakan B30 tersebut yakni mampu menghemat devisa sebesar US$5,13 miliar atau setara dengan Rp63,39 triliun. Hilirisasi CPO menjadi biodisel memberikan nilai tambah Rp13,82 triliun.

Tidak hanya itu, program B30 mampu mempertahankan tenaga kerja (petani sawit) sebanyak 1,2 juta orang pada on-farm sector dan 9.005 orang pada off-farm sector. Selain itu, penggunaan B30 juga dapat mengurangi emisi GRK sebanyak 14,25 juta ton CO2.

Wakil Ketua Komisi IV DPR, Hasan Aminuddin, mengatakan, pemerintah harus memproteksi dan memberikan insentif kepada petani termasuk petani sawit sebagai penyedia pangan masyarakat. Program B30 secara tidak langsung merupakan salah satu proteksi yang dilakukan pemerintah dalam rangka menjaga harga TBS agar tetap berada pada level harga yang menguntungkan petani.

"Adanya proteksi terhadap petani ini merupakan salah satu rekomendasi Komisi IV DPR kepada pemerintah," tegas Hasan Aminuddin.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: