Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kebebasan Media Dikekang, Duterte Munculkan Sikap-sikap Antikritik

Kebebasan Media Dikekang, Duterte Munculkan Sikap-sikap Antikritik Kredit Foto: Reuters/Erik De Castro
Warta Ekonomi, Manila -

Presiden Filipina Rodrigo Duterte memiliki sejarah panjang konflik dengan media dan pers yang menuntut kebebasan di bawah pemerintahannya. Dia dikenal sebagai pemimpin yang tidak suka dengan kritik dari media.

The Philippine Daily Inquirer merupakan salah satu harian ternama di Filipina yang memiliki slogan "balanced news, fearless views". Ketika Duterte meluncurkan kebijakan perlawanan terhadap bandar narkoba pada 2016, media tersebut mengkritik tajam pembunuhan massal tersebut. Dalam berbagai forum, Duterte pun menyerang media ini.

Baca Juga: Filipina Tangkap Bandar Narkoba dengan 756 Kg Sabu-sabu, Duterte: Saya Siap Membunuh Anda

“Sungguh memalukan para jurnalis itu,” katanya. Beberapa bulan kemudian, pemilik The Philippine Daily Inquirer menjual media tersebut kepada pengusaha kuat yang menjadi pendukung Duterte.

Stasiun televisi ABS-CBN dipaksa menutup siarannya pada Mei lalu setelah bertahun-tahun diancam oleh Duterte. Duterte menuding ABS-CBN tidak menyiarkan iklan kampanyenya pada 2016 dan tidak mengembalikan pembayaran.

“Saya akan melihat kamu akan selesai,” kata Duterte.

Namun, juru bicara Duterte mengatakan presidennya dalam posisi netral dalam upaya pemberian izin bagi ABS-CBN untuk beroperasi kembali.

Duterte juga pernah mengungkapkan kemarahan kepada jurnalis saat kampanye presiden pada 2016.

“Kamu (jurnalis) tidak dikecualikan dari pembunuhan,” katanya.

National Union of Journalists of the Philippines (NUJP) menggambarkan komentar itu sebagai suatu ancaman bagi jurnalis.

Terbaru adalah pemimpin eksekutif Rappler, situs berita daring dari Filipina, Maria Ressa, yang dikenal kritis terhadap Presiden Rodrigo Duterte menghadapi ancaman hukuman enam tahun penjara karena dinyatakan bersalah di Pengadilan Manila. Itu menjadi tekanan terhadap kebebasan pers di Filipina.

Ressa, yang merupakan mantan jurnalis CNN, dinyatakan bersalah dalam kasus pencemaran nama baik dalam sebuah artikel pada 2012 terkait pengusaha yang melakukan aktivitas ilegal. Setelah menjatuhkan vonis kemarin, hakim Rainelda Estacio-Montesa mengatakan, pelaksanaan kebebasan harus digunakan dengan memperhatikan kebebasan orang lain. Estacio-Montesa juga mengatakan, Ressa menghadapi hukuman lebih dari enam tahun penjara.

Ressa mengaku akan mengajukan banding atas keputusan tersebut.

“Keputusan untuk saya sangat menghancurkan karena pada dasarnya mengatakan kami di Rappler salah,” katanya.

Reynaldo Santos, mantan peneliti dan penulis Rappler, juga dinyatakan bersalah dalam kasus tersebut. Namun, Ressa dan Santos bisa bebas dengan membayar uang jaminan selagi upaya banding dilakukan.

Selama persidangan Ressa membantah semua tuduhan dan mengklaim hal tersebut dilancarkan dengan motif politik.

"Kami akan berdiri menentang segala bentuk serangan terhadap kebebasan pers," kata Ressa.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: